Senin, 17 Desember 2018

Whenyou know you're gonna die.


Dan ini lebih mirip seperti mimpi bagiku

Ketika aku bisa tidur telanjang di sampingmu

Di bekas rumah sempitmu itu

Persis seperti yang dillakukan oleh orang tua kita dulu

Atau orang tua dari orang tua kita dulu

Kehadiranmu lebih mirip secercah cahaya

Yang tiba-tiba saja membangunkanku

Menyadarkanku, bahwa aku masih hidup jadi bagian hidup

Di kehidupan ini

Senyummu, dan kedatanganmu yang tiba-tiba itu

Meninggalkan bekas,

Yang tak habis-habisnya kuganti dan kusalahpahami.




Sabtu, 15 Desember 2018

Ketika kawan dari masa lalu datang.


Seorang kawan baik dari masa lalu tiba-tiba saja datang ke Jogja tanpa sebab, mengajak bertemu, dan saya disuruh menemaninya untuk berkeliling jalan-jalan di Malioboro. Pertemuan kami berjalan baik seperti biasanya, penuh ngakak-an tolol dan diselilingi pisuhan di sana-sini.

 Kami sedang asik mengobrol tentang kisah-kisah indah yg telah lewat waktu itu di sana. Sebelum akhirnya ia tiba-tiba saja menyeloroh berkata, kata-kata yg sebenarnya tak terlalu enak didengar oleh telinga dan dirasa oleh hati seperti ini, “Kau, kawanku, kenapa? Kenapa masih seperti ini saja?” sambil tersenyum.

 “Maksudmu?”

 “Halah, sudahlah aku kenal kamu sudah lama, dan aku tahu kamu itu luar-dalam, mau sampai kapan kamu seperti ini? Mengutuki diri sendiri seperti orang tolol begini, sudah 3 tahun berlalu lho, sampai kapan kamu masih terus menyalahkan dirimu sendiri begini? Sampai kapan kau gadaikan kebahagianmu begini?”

“Mohon maaf, tapi saya sudah bahagia dengan begini, bahagia dengan kehidupan saya yang sekarang ini.”

“Omong-kosong keparat apalagi ini, hee? Udahlah, biarkan dirimu bahagia, karena toh dia juga telah bahagia dengan orang lain tho sekarang? Semua ini bukan salahmu, ia yang pergi dan memilih orang lain. Memang benar ia lah yang telah merubahmu seluruhnya, memperkenalkan dengan dunia yang kini begitu kau cintai? Tapi lihat lah kenyataannya sekarang, ia memilih pergi tho? Selain itu, biarkan juga ia semakin berbahagia, lepas dari semua beban rasa bersalah padamu,”

“Aku sudah tak ada rasa apa-apa lagi denganya, keparat. Sekarang pun aku juga sudah mulai menyukai dan mendekati beberapa orang gadis.”


“Hey, aku tahu kau. Yang kau lakukan sekarang ini lebih mirip yang dilakukan oleh para gigolo murahan itu. Menggadaikan diri untuk lepas dari rasa sepi dan kesedirianmu. Senyummu yang menyungging ketika bertemu gadis-gadis lain itu, tatapanmu, semua palsu. Kau hanya ingin mengobati rasa kesendirianmu dan kesepianmu, di sisi yang lain, kau bajingan-keparat! Tak mau membuka barang secuil pun hatimu pada mereka.”

“Aku sudah mulai membukanya, paling tidak aku sudah mulai membuka diri,”

“Tidak. Kau belum membuka diri. Kau hanya ingin menunjukan, membuktikan padanya bahwa kau masih hidup, masih survive. Dan lihat apa yang kau lakukan sekarang itu tak jauh berbeda seperti yang kau lakukan dulu ketika kau mengajakku bertemu waktu itu, setelah dia mengatakan telah menaruh hatinya pada orang lain itu. Kau sok tegar, tersenyum tolol lalu berkata, “aku baik-baik saja, lihat, aku tak menangis atau merasa sesak di dalam dada”, sekarang kulihat, kau masih saja tak jauh beda dengan yang dulu itu. Mau sampai kapan, Kawan?”

Mendengar kata-katanya yang bak halilintar yang menggelegar itu. aku diam. Sembari berkata dalam hati, “Bajingan keparat ini, sok tahu sekali tentang hidupku, Bajingan ini jangan-jangan ke Jogja cuma buat ngomong omong kosong keparat ini doang, tapi, tapi, tapi, apakah semua yang dikatakan oleh kawan dari masa kecil hingga remaja ini tadi memang benar adanya? Apakah aku masih setolol dan sedungu itu?” 


Jumat, 07 Desember 2018

Pesakitan Yang Menyenangkan


Langit gelap. Hujan tumpah. Datang bersama gemuruh petir yang berkilat-kilat. Saat itulah, Parjo keluar dari bilik isolasinya di sebuah tempat yang tak bernama. Berjalan lambat-lambat dengan tangan disilangkan ke belakang. Langkahnya gontai, dengan satu kaki yang diseret, berjalan ia menembusi derasnya air hujan yang mengguyur di luar sana bersama enam serdadu yang mengawal di depan, belakang, samping kanan dan kirinya.

Sesekali Parjo melihat ke depan melalui katub matanya yang sayu itu. Yang dari hari ke hari semakin tampak mengenaskan saja. Tampak dari matanya itu, jalan sempit berlumpur membujur berkelok-kelok di depan sana. Dengan samping kiri dan kanan berdiri dinding beton kokoh bewarna coklat-muram.

“Hey! Cepat sedikit jalannya tolol!,” bentak serdadu di sampingnya tiba-tiba.

“Cepat sedikit bisa kau jalannya bangsat?’ tungkas serdadu lain, sambil menendang punggung Parjo sekuat tenaga dari belakang.

Parjo Tersungkur, nyungsep ia ke lumpur becek tepat dua meter di depan langkah  kaki terakhirnya tadi. Sekarang yang terlihat hanyalah Keruh. Bekas lelehan air hujan yang menyapu rambut hitamnya, yang lalu turun kening, yang lalu turun ke pipi, hingga pada akhirnya jatuh pada tepi-tepian dagunya.

 Sekarang yang dilakukannya, sambil masih nyungsep di lumpur tanah tadi. Mulai dirasai ada rasa aneh dalam mulutnya. Semacam rasa anyir darah yang bercampur dengan air lumpur lumpur bekas mamah tanah, begitu hambar dan memuakkan.

Walaupun demikian, ada yang aneh dengan si pesakitan ini. Si Parjo. Ia seperti bergeming. Memang sakit ia, tapi tak tertunduk atau terkalahkan. Mirip sekali dengan penggambaran tokoh aku dalam puisi Invictus karya William Ernest Henley itu.

Dalam dirinya seperti ada kekuatan aneh yang muncul, kekuatan yang bahkan tak dimiliki oleh para serdadu tegap para pengawalnya itu. Ia seperti tembok kokoh yang tetap tegak berdiri menghadapi siksaan demi siksaan yang menghantam dirinya. Entah itu mulai dari di bilik isolasinya, ataupun yang sampai sekarang seperti dilakukan oleh serdadu pengawalnya tapi.

Saat mencoba bangun setelah ditendang dan nyungsep di tanah itu. Tampak dari dalam matanya yang hitam sayu itu. Walaupun kuyu tapi masih tetap memancarkan rona hidup dan kehidupan. Bahkan, kadang-kadang ia masih bisa tersenyum sedikit sembari mendongakkan kepalanya ke atas menatap langit-langit. “Inilah hidup! Inilah takdir hidup bagi orang-orang sepertiku!”, gumamnya dalam hati.

Setelahnya, ia kembali menatap ke tanah yang ada di bawahnya tapi sembari mengumpulkan sisa-sisa  tenaganya terakhirnya yang ada: mencoba bangkit kembali, berdiri lagi, namun gagal, tersungkur lagi ia ke tanah. Sekarang yang dilihatnya hanyalah gelap. Ya. Gelap yang pekat.

*****

Dengan muka, badan  dan kaki masih tertelungkup di tanah. Mulai dirasainya dingin yang tak berperi di sekujur tubuhnya. Di kiri dan kanan, dilihatnya hanya terpampang gambaran mengenai tembok-tembok beton nan kokoh lengkap dengan sebuah lambu bohlam warna merah termeram di tengahnya.

Sambil menggigil setengah sadar, mulai berkelebatan ingatan dari masa lalunya. Saat ia masih hidup tentram di desa sebagai petani dulu. Yang tiap pagi selepas sembahyang subuh ia kunjungi sawahnya dengan tanpa putus-putus. Yang sebelum surya terbit ia sudah berada disana, barangkali hanya sekedar untuk memeriksa bagaimana jalannya saluran air, atau mengusiri burung-burung pipit nakal yang numpang sarapan pagi di sawahnya itu. 

Sumber gambar: Riauone.com


Mulai bermunculan pula ingatan tentang masa bocahnya dulu, saat ia masih bebas bermain dengan riangnya kecek di Kali Bengawan Solo. Bebas melompat, jumpalitan dan berenang kesana-kemari. Layaknya anak kalong di Jalanan ibukota  yag lepas dari induk semangnya. Bebas, lepas dan tanpa beban. Waktu itu, yang ada hanyalah tentang hari ini, dan esok adalah mau kemana lagi kita berpetualang dan bermain. Ah.. waktu.

********,

            Parjo membuka matanya sedikit demi sedikit. Buram. Makin lama makin jelas keburaman itu. Gelap, samar dan pengap. Itulah kesan pertama Parjo akan ruangan ini. Hanya diterangi sebatang lilin harga 2 perak di pojok sana. Lengkap dengan lantai cor beceknya. Parjo mulai meraba-raba kembali tubuhnya, ada beberapa bagian yang serasa mati rasa, dengan bagian lain terasa nyeri.

“Kau anggota Partai Komunis kan, ayoh ngaku?” tanya serdadu yang duduk di depannya

Parjo masih bergeming. Samar. Mencoba menguasai dirinya kembali sambil sedikit mendongakkan kepala menatap wajah si penanya

“Ini lihat buktinya! Ini bukti dari keanggotaan Partai Komunismu! Hayoh ngaku kau! Masih mau mengelak apa lagi kau?! ” tambah si serdadu sambil menunjukan ke surat penyataan keanggotaan Partai

Parjo mencoba melihat surat pernyataan itu dalam remang. Sembari mencoba membacanya secara terbata-bata. Namun, setelah itu pikirannya terbang entah kemana. Mulai diingat-ingat kembali rentetan peristiwa yang menimpanya sebulan terakhir ini. Yang diawali dengan datangnya berita tentang kudeta yang telah dilakukan oleh Partai Komunis di Jakarta pada tanggal 30 September lalu. Lalu berita tentang terbunuhnya banyak Jendral Angkatan Darat, dimana tempat pastinya itu. Parjo tak tahu.  

Parjo sendiri sebenarnya kurang terlalu paham mengenai apa isi dan maksud berita itu, dan  apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Biarlah itu menjadi urusan orang-orang besar atas sana, kita orang kecil ini hanya bisa ngikut saja,” katanya sambil membelai lembut rambut sang Istri yang berada di pangkuannya.

Setelahnya, Parjo masih beraktivitas seperti biasa. Bangun pukul empat pagi, lalu berak di kali. Mengambil air wudhu dan sembahyang subuh lagi, setelahnya hidupnya hanya dihabiskan di sawah. Terus seperti itu sampai hari itu terjadi; hari dimana desa Parjo yang tenang di utara Bengawan Solo digegerkan oleh datangannya satu kompi serdadu bersenjata lengkap.

Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung menggeledah setiap rumah yang ada. Kaya, miskin, jelek, mewah atau reot, tak peduli mereka. “Desa ini adalah sarang komunis!,” Kata Sang Komandan. “Barang siapa tak melaporkan siapa saja yang menjadi anggota partai terkutuk itu. Dan jika ada yang terbukti menyembunyikan identitas mereka, harta, rumah bahkan jasadnya akan ikut dibakar!”. 

Hari itu kacau, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Langit  merekah merah, tetapi tidak seperti biasa, ada yang hilang sore ini. Seperti hilangnya suara adzan magrib setelahnya. Masyarakat desa pontang-panting, saling tuduh dan curiga satu sama lain. Paiman tetangga parjo yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Parjo, rumahnya dibakar, Ia, anak dan istrinya disembelih di kebun belakang rumah. Ada yang melapor bahwa mereka adalah anggota dan simpatisan Partai Komunis. Hal serupa dialami Ilham, bocah pendiam yang sedikit dungu itu. Ia ditembak di depan mata orang tuanya sendiri, lalu mayatnya dilempar ke Kali Bengawan Solo. Hanyut, lalu lenyap.

Waktu kejadian itu, Parjo baru pulang dari sawahnya. Sehabis mandi di kali, ia mulai berjalan lambat-lambat dengan cangkul dipundak. Setelah menaiki bukit kecil di atas kali, ia terkejut. Desa tak seperti biasanya, ada kobaran api dimana-mana, lolongan bayi dan para wanita yang menangis bersaing dengan lolongan anjing; saling bersautan.

Tanpa berfikir panjang, ia langsung lari menuju rumahnya, untuk melihat keadaan istri dan anak tercintanya. Tetapi sayang, mereka telah lenyap, hilang ditelan buramnya petang. Rumahnya kocar-kacir, barang-barangnya berserakan. Tak lama setelahnya, seperti ada benda keras menghantam tengkuknya dari belakang, ia terjatuh. Pingsan. Setelahnya, saat tersadar tiba-tiba ia sudah berada di sel isolasinya itu.

“Woy.. Bajingan tak tahu diuntung! Jawab pertanyaanku!” bentak sang serdadu sambil menghantam pelipis parjo dengan popor senjata di tangannya.

Tersadar Parjo dari lamunannya. Tergagap ia. Muncrat darah dari pelipisnya, sambil menggigil ia menjawab.

“Bukan tuan, demi Allah bukan, Partai Komunis itu rupanya seperti apa saja, aku tak tahu”

“Lha ini, ini bukti keanggotaan partaimu”

“Demi Allah tuan, itu bukan aku, bukan juga tulisan dan tanda tanganku” jawab Parjo lagi

“Ok. Jika kamu masih terus mengelak dan tak mau mengaku!.” tungkas Sang Serdadu

Parjo hanya terseyum. Teduh. Ia telah siap menghadapi apa yang akan segera dihadapinya di depan sana.

*****

Putih. Putih. Dan putih. “Apakah ini yang dinamakan alam baka?,” kata Parjo pada dirinya sendiri. “Kalau memang iya, mengapa bisa sekosong dan seputih ini?,” Ia tak merasakan apapun lagi sekarang, semua kesakitannya hilang, beban di pundaknya lenyap. “Di mana orang-orang?” “Di mana para malaikat yang menanyaiku?.” Ia tak mampu lagi merasakan mana kaki, mana tangan, mana badan dan mana kepala. Yang ada hanya putih dan kekosongan. Aneh. Hatinya bolong. Ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terakhir kali terjadi kepadanya. Lupa. Ia lupa tetapi kadang-kadang teringat. Iya ingat tetapi terkadang juga terlupa. Aneh.

Sekian.

Membaca Tortilla Flat, Membaca John Steinbeck, Membaca Manusia


Hal pertama yang menarik perhatian saya ketika membaca novel John Steinbeck yang satu ini adalah, bagaimana cara yang ditampilkannya dalam memainkan alur dalam ceritanya, menurut saya, begitu khas dan sederhana, namun langsung mengena pada pokok persoalan yang ingin diraihnya.

            Selain ditopang dengan kekhasan dan kesederhanaan bahasanya tersebut. Pokok bahasan yang ditampilkan oleh Steinbeck pun biasanya tak muluk-muluk amat. Secara umum dapat dibelah menjadi tiga pokok bahasan, utamanya dalam novelnya yang berjudul Tortila Flat ini, yakni mengenai kehidupan Danny, kehidupan teman-teman di sekeliling Danny, dan kehidupan di rumah Danny.
Sumber gambar: www.Bing.com


            Dalam menceritakan ketiga pokok pembahasannya tersebut, Steinbeck, sebagai penulis menggunakan, sudut pandang orang ketiga. Danny sebagai si Tokoh utama ditempatnya sebagai tokoh sentral tetapi tidak membatasi keluarnya sosok kuat baru yang keluar dari penceritaan tokoh lain. Ia seakan-akan seperti membebaskan para pembacanya untuk memilih tokoh idolanya sendiri, memnurut sudut pandang dan pembacaannya masing-masing.

            Dalam hal ini saya pribadi begitu tertarik, dan jatuh cinta dengan tokoh yang bernama Pilon, sahabat dekat Danny. Jika Danny digambarkan oleh Steinbeck sebagai seorang non-komformis yang suka hidup bersenang-senang tanpa pertimbangan baik dan buruk. Bergitu juga halnya dengan Pilon, bedanya adalah, Pilon ini sosok unik sekaligus licik dengan 1001 tipu muslihat cara mengelabui orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

            Pemgambaran ini dapat dilihat secara gamblang ketika ia berkali-kali mengakali Danny dan teman-temannya yang lain, sebut saja Pablo, Jesus Maria dan si Bajak laut. Untuk mendapatkan setenggak anggur masuk-meluncur melalui kerongkongannya.

            Uniknya lagu, biasanya dalam pelaksanaan rencana jenius -jahatnya ini. Si Pilon ini biasanya akan membumbui dengan “kata-kata bijak-baik” di kanan dan kiri sela-selanya untuk menutupi niat busuknya tersebut. 
Sumber gambar: Demabuku.com


            Hal lain yang menarik dari tokoh bernama Pilon ini adalah, bagaimana selain digambarkan sebagai sosok yang sejuta akal. Di sisi yang lain ia juga digambarkan sebagai sosok lugu dan polosdalam melihat berbagai persoalan. Seperti seolah-olah tanpa mengenal dosa lah sederhananya dalam upayanya menjalankan setiap tindak kejahatannya tersebut.

            Sekali lagi, dengan gayan penggambarannya yang khas itu. Steinbeck berhasil membangun iklim suasana yang begitu nggeh bagi setiap pembacanya. Ia, sekali lagi, berhasil memadukan ketiga unsur yang telah saya sebutkan di atas dalam fragmen-fragmen yang sederhana tapi berututan, berkesinambangun tapi mengena dan terpatri dalam hati, dari loncatan satu bab ke bab lainnya.

            Hingga pada akhirnya. Seperti membius para pembacanya. Tiba-tiba saja sudah pada ujung pembacaannya. Terima kasih Steinbeck atas cerita yang luar biasa. Terima kasih Pak Djokolelono atas terjemahanmu yang juga tak kalah luar biasanya.

             

Cara Hidup Senang Bermedsos di Tengah Panasnya Tahun Politik 2019


Beberapa bulan lagi akan segera bergulir kontestasi politik pemilihan presiden di tahun 2019. Sudah barang tentu akan berdampak pada jagad permedsosan tanah air menjadi kian riuh redam. Psywar demi psymar perang sudah mulai ditabuh, celetukan argumen dan isu-isu pun mulai ”digoreng”, partai-partai mulai membangun basis-basis koalisinya, dan tak lupa, pembuatan dan penyebaran berita hoax pun semakin digenjot sedemikian rupa, hingga akhirnya bisa tersebar luas ke mana-mana.

           Secara umum, menurut pengamatan saya, netijen tanah air terbagi menjadi dua haluan besar, pertama, sang pemilik tagar #2019gantipresiden atau yang kita kenal sebagai Bani Onta yang memegang prinsip “pokoknya semua presiden ok, asalkan bukan Jokowi!”, sedang yang kedua adalah pemilik tagar #Jokowi2periode atau yang akrab kita sapa dengan nama Bani Cebong, prinsip mereka jelas, yakni “Jokowi harga mati!”.

             Implikasi dari adanya dualisme pilihan politik ini jelas, yakni berdampak pada terbelahnya suara politik masyarakat Indonesia menjadi dua, yakni yang probuta-Jokowi, pokoknya Jokowi adalah malaikat pembawa kebenaran: semua kebijakan yang keluar dan diambil olehnya tak pernah salah, tak pernah cacat, dan tak pernah salah saranan. Jadi simplenya gini, Jokowi tak perlu dikritik, dan memang tak boleh.

            Sedangkan yang satunya adalah, yang kontrabuta-Jokowi. Manusia-manusia seperti ini adalah yang menghabiskan seluruh waktu di kehidupannya untuk  membenci dan mencaci maki Jokowi. Bagi mereka, Jokowi itu tak lebih dari pemimpin boneka yang pro-asing, aseng, dan pemimpin kafir anti-Islam. Seluruh kebijakan yang dikeluarnya adalah kemudharatan belaka, yang tak perlu dilihat dan ditimbang dulu seperti apa manfaatnya. Miris bukan, menjadi dua jenis manusia seperti yang saya haturkan di atas?

****
Sumber: Koran-Jakarta.com


            Dalam dunia politik, permasalahan mengenai perbedaan pendapat, sudut pandang, serta pilihan politik seperti ini sebenarnya adalah hal yang biasa terjadi dan sah-sah saja dilakukan. Asalkan, masih dalam koridor hukum, dan sesuai dengan pakem-pakem demokrasi yang telah termaktub dalam kitab perundang-undangan yang ada. Namun sayang (dapat kita lihat sendiri gejalanya di masyarakat), apa yang kita harapkan dari adanya dualisme haluan politik yang nantinya akan menuju pada “pendewasaan” kehidupan berpolitik masyarakat kita, justru malah jauh panggang daripada api.

             Perjalanan kontestasi politik kita ini justru  menuju ke arah yang semakin kabur dan tak jelas, segala hal dilakukan untuk memenangkan junjungan yang didukungnya; dengan cara mengkorek-korek kebusukan lawan sejadi-jadinya, dan memuji-memuji junjungannya sendiri setinggi langit bak malaikat yang tak memiliki salah ataupun dosa barang secuil pun. Bahkan,  cara-cara kotor, seperti mengangkat isu-isu sara yang menyoal pada persoalan identitas yang paling pribadi pun tak segan-segan ditempuh dan dilakukan.

            Dan biasanya, cara-cara tak beradab semacam inilah yang justru malah akan disebarluaskan melalui medsos. Mengapa melalui medsos? Karena dianggap mudah dilakukannya, dan pangsi pasarnya jelas. Ditambah lagi, hampir seluruh masyarakat Indonesia sekarang ini memiliki akun dan pengguna medsos. Ditambah lagi, dikenal lebih percaya pada status twiter, facebook, ataupun instagram, dibandingkan dengan informasi yang terdapat di koran-koran ataupun buku-buku.

            Oleh karena melihat suatu fenomena yang memprihatinkan itu, saya, sebagai seorang netijen teladan, baik dan budiman. Pengguna medsos yang terjebak di antara dua suara sumbang yang saling serang dari kedua kubu ini berjanji. Akan menawarkan saran dan cara-cara agar para netijen yang bernasib kurang lebih sama dengan saya, dapat hidup dengan tenang dan senang menikmati biduk dunia permedsosannya.

Berikut saran-saran yang dapat saya haturkan:

1)      Jangan follow, like dan subscribe akun-akun fake dan postingan para penyebar Hoax dari kedua belah pihak, baik oleh Bani Onta ataupun Bani Cebong yang telah disebutkan di atas, karena akan dapat menyebabkan sering munculnya postingan-postingan tersebut dalam akun medsos Anda. Kayak larangan dilarang merokok aja, ya? Dapat menyebabkan, dapat menyebabkan. Hahaha.



2)       Kita harus sering-sering mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha kuasa. Lho, opo hubungane dul! Sembahyang ambi tentram dalam bermedsos? Eitss. Jangan salah, dengan kita mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pikiran kita jadi tenang, dan hati jadi riang. Hingga hasil akhirnya berdampak pada, jika muncul postingan sampah hoax di medsos kita, kita akan tetap tenang, tidak mudah terhasut, tidak mudah marah dan mengumpat-umpat, lalu akhirnya akan lebih mementingkan kroscek data dan  tabbayun terlebih dahulu, tidak asal semprot saja. Heheehe nyambung nggak sih?





3)      Nomor tiga ini penting, awas nomor enam bisa bikin tercengang. Eh koyok line tudey wae goblok! Jika menemui akun penyebar Hoax, segera report, laporkan dan kalau bisa,  blokir. Mengapa cara ini penting dilakukan? Paling tidak postingan sampah seperti itu tidak akan muncul-muncul lagi di beranda kita, sehingga akhirnya dapat menjaga ketentraman biduk rumah tangga dalam bermedsos ria kita. Hehehe



4)      Baca buku! Lho kok tiba-tiba malah suruh baca buku? Ya iyalah cyinnn baca buku penting, dengan membaca buku waktu kita yang sebelumnya asik dihabiskan untuk bermoedsos-medsos ria-an akan jadi berkurang, sehingga kesempatan kita untuk membaca berita-berita sampah hoax juga akan berkurang hingga sedemikian rupa. Piye, konkrit nga? Hehehe.





5)      Hapus atau jangan gunakan medsos lagi, hal ini penting dan ampuh dilakukan oleh mereka yang sudah tak kuat lagi menangkal kuatnya genderang perang berita hoax antar kedua kubu di atas. Dengan cara ini kemungkinan anda untuk bertemu berita hoax yang ada di medsos adalah 0%. Dijamin!



            Itulah, beberapa cara yang dapat saya persembahkan untuk kalian semua wahai netijen yang baik dan budiman, kurang lebihnya saya sebagai pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya sebagai manusia biasa, yang tak banyak punya dosa. Mengucapkan banyak terimakasih dan turut berbela sungkawa, eh selamat tinggal dan sampai jumpa deng. Bey!