Jumat, 15 Maret 2019

Port Moresby: Kota Para Raskol di Sisi Timur Papua


Jika Anda adalah seorang backpacker sejati dengan kondisi keuangan berlebih, serta memiliki kecenderungan memimpikan petualangan sinting yang anti-mainstream. Ada baiknya jika Anda memasukan kota ini dalam list catatan rencana perjalanan Anda selanjutnya. Dijamin, di samping akan menyugukan pemandangan alam yang indah-sedap dipandang mata, kota ini juga akan memberikan semacam pengalaman intim-menarik, yang mungkin saja, tak akan pernah bisa Anda temui dan rasakan di kota-kota lain yang pernah Anda kunjungi sebelumnya.

            Port Moresby, namanya. Kota yang juga merupakan ibukota negara tetangga kita ini: Papua Nugini, terletak di bagian ekor burung, atau sisi paling tenggara di wilayah pulau New Guinea (atau yang akrab ditelinga kita dengan nama Papua). Berpenduduk sekitar 283,733 jiwa dengan luas wilayah mencapai 240 km2 (worldpopulationreview pada 2019).

            Sebenarnya, tak ada hal aneh yang terlihat secara mencolok dengan kota ini jika dipandang secara general dari luar. Sama seperti halnya banyak wajah ibukota lain di dunia. Hampir di seluruh sudut kota ini juga dapat ditemui dengan mudah gedung-gedung pencakar langit raksasa, jalan-jalan raya protokol nan mulus, serta berbagai fasilitas modern penunjang lain, yang kita tahu, adalah salah-satu prasyarat penting penunjang ibukota sebuah negara.

            Akan tetapi, jangan kaget nantinya kalau semisal, setelah Anda sampai di sana lalu menyusuri langsung jalanan di sudut-sudut kota yang ada. Lalu Anda akan mendapati, ternyata di sekeliling gedung-gedung modern nan mentereng itu diputari oleh dinding-dinding beton raksasa yang ditaruh kawat-kawat pisau di atasnya. Lengkap dengan pengamanan ekstra ketat di sana-sini oleh para penyedia layanan pengamanan swasta (Security Guard).

            Dan jangan kaget pula, jika Anda secara kebetulan akan menyaksikan kegiatan penodongan, pencopetan, perampokan  ataupun tindakan kriminal lain yang dilakukan secara terang-terangan di tempat umum—tanpa ada seorang pun yang memperdulikan dan berusaha menolong.

            Dailymail dalam investigasi seriusnya yang berjudul The Gangs of New Guinea: Chilling  photograps show street criminals in one of the world’s most uninhabitable cities (29/10/2012) menyebut.


Sumber gambar: Dailymail.co.uk

            Semenjak merdeka dari Australia pada 1975, kota Port Moresby berubah jadi salah-satu kota “angker” di dunia. Tempat di mana para raskol (raskol adalah plesetan kata dari bahasa Inggris, rascal, yang berarti para bajingan atau berandalan) berkumpul. Kesenjangan ekonomi yang tak terjembatani, kulture kekerasan yang ada,  polisi dan pejabat yang korup, sistem pendidikan yang macet, serta “permainan” penyedia layanan keamanan swasta oleh para ekspatriat asing adalah beberapa contoh perihal, yang menjadi penyebab utama kemuculan dari para geng raskol ini. Tak hanya orang dewasa, dalam laporan itu juga menyebut bahwa anak-anak juga turut ambil bagian dalam komplotan ini.



Kota “angker” yang tak termaknai

            Sebagaimana dimuat oleh News.com.au dalam salah satu artikelnya yang berjudul Whatever you do, don’t go outside’: Aussie’s horror work trip (4/12/2017). Para ekspatriat Australia punya olok-olokan tersendiri untuk menggambarkan suasana kota ini. Yakni  menyebutnya dengan nama, “kota di siang hari”.

            Maksudnya di sini adalah, Anda hanya akan bisa beraktifitas secara normal di kala matahari masih tampak di atas batok kepala Anda. Dan aktivitas itu pun—jika Anda ingin benar-benar aman--terbatas pada aktivitas yang bertempat di tengah-tengah lingkungan mewah atau kedutaan. Yang dijaga secara ketat oleh para penyedia layanan keamanan swasta (security guard) yang ada.        



            Hal ini diamini pula oleh seorang backpacker “gila” Indonesia asal Lumajang, Agustinus Wibowo. Yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk melakukan petualangan sinting menjelajahi kota-kota berbahaya di seluruh penjuru dunia. Di salah-satu artikel perjalananya di laman blog pribadinya yang berjudul Port Moresby 18 Agustus 2014: Berpetualang di Kota Para Raskol.

            “Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, salah seorang warga Indonesia yang sudah empat tahun bekerja di supermarket yang ada di sana, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” ucapnya.”


Sumber gambar: Theaustralian.com.au

            Itu pun, terkadang mobil masih dilempari dengan batu atau dihentikan orang di jalan. Bahkan kalau ban bocor pun, orang-orang akan lebih memilih terus memaksa menancap gas sampai rumah; tak seorang pun berani turun dari mobil untuk mengganti ban, apalagi di tengah malam.

            Para Raskol itu bisa muncul di tempat dan waktu dan dengan cara yang tidak pernah kita duga. Dan raskolisme itu benar nyata adanya, sampai banyak eskpatriat bosan yang rela membayar uang langganan US$1.000 per tahun untuk masuk klub eksklusif Yacht Club (dan masih harus membayar harga makanan yang minimal U$30 per porsi), karena mungkin sudah tidak ada lagi ajang sosialisasi lain.

            Untuk para perempuan, jangan pernah sekali-sekali berfikir untuk tinggal atau berjalan-jalan sendirian di kota ini. Melangsir film dokumenter produksi BBC.TV yang berjudul Port Moresby: The world's most dangerous city to be a woman? (27/09/2018). Berkisah dengan gamblang, bagaimana lebih dari 70% wanita lokal yang ada di sana pernah mengalami pemerkosaan dan kekerasan fisik.

            Dan yang membuat hal ini lebih miris lagi adalah, bagaimana pengakuan yang keluar dari salah-seorang polisi yang ada di sana yang mengatakan: bahwa hal itu adalah hal lumrah yang biasa dilakukan oleh laki-laki New Guinea dalam kehidupan sehari-harinya.

            Dalam kurun waktu lima bulan saja (Januari- Mei 2018), polisi tersebut mengatakan telah ditemui 6000 kasus pemerkosaan terjadi. Dan itu hanya terbatas pada kasus-kasus yang sudah dilaporkan saja. Pantas saja jika The Economist pada 2003 memempatkan kota ini sebagai kota nomor wahid dalam urusan kota paling berbahaya untuk ditinggali di dunia, mengalahkan 129 kota berbahaya dan tak layak huni lain.



Penutup: Seringai serigala berbulu domba

            Port Moresby adalah kota “ajaib” dalam versinya sendiri. Tampilan luarnya sangat berbeda dengan jika dibandingkan dengan kota-kota tak layak huni lain. Misalnya Kabul dengan senarai teroris dan rentetan bom bunuh dirinya, ada kota-kota di Meksiko dengan kartel narkobanya, ataupun Lagos dengan kekacauan konflik mendagingnya, tetapi Port Moresby tidak menampilkan kekacauan serta konflik yang sevulgar itu.

            Menyitir laporan The Guardian dalam artikelnya yang berjudul Raskol Gangs rule world’s worst city (22/09/2004). Anda di sana akan menyaksikan tampilan kota yang “mentereng” dengan bangunan-bangunan nan megah. Dengan sebagian besar penduduk yang ramah dan murah senyum ketika bertemu orang asing . Kota di mana Anda akan bisa menemukan musik-musik santai Reggae Jamaica diputar keras-keras di mana-mana.

            Namun di sisi yang lain, Anda juga seperti akan dihadapkan dengan entitas lain dari kota ini; ini adalah kota yang dikuasai oleh para gang raskol. Di mana para bajingan itu mewariskan cerita-cerita kejam tentang perampokan bank dengan senapan mesin M-16, perampokan mobil oleh gerombolan bersenjata, hingga perkosaan massal terhadap penumpang wanita yang diseret turun langsung dari bus ditumpanginya.

            Kota di mana terdapat cerita tentang rumah orang-orang kaya di kawasan elite mentereng yang semuanya—dikelilingi oleh tembok beton tinggi dengan gulungan kawat berpisau di atasnya, plus masih dikawal satuan pengaman bersenjata lengkap. Dan tak ada seorang pun manusia berambut lurus dan berkulit putih yang berani menyusuri kota ini sendirian. Entah dengan berjalan kaki, ataupun naik kendaraan umum yang ada.

            Jadi bagaimana, Anda semakin tertantang untuk datang mengunjunginya?





Referensi bacaan:


http://agustinuswibowo.com/9939/port-moresby-18-agustus-2014-bertualang-di-kota-raskol/. Diakses pada tanggal 9 Februari 2019. Sekitar pukul 17.00.

https://www.theguardian.com/world/2004/sep/22/population.davidfickling. Diakses pada tanggal 10 Februari 2019. Sekitar pukul 21.00.





Referensi foto:

Theaustralian.com.au

Dailymail.co.uk