Senin, 19 Februari 2018

Pergolakan Diri

Pergolakan diri

Di sinilah aku sekarang
Duduk di antara danau mati
Dan orang-orang mati yang terus berjalan

Lalu di mana letak jiwaku?       
Adakah ia sedang berlari
Atau, hanya sedang duduk-duduk santai sembari menulis puisi


Entahlah,





Sumber gambar: http://sinarharapan.net







Sekarang, salju turun tepat di sampingku
Sedang bertanya tentang administrasi, etika dan sopan-santun
Lalu pikirmu aku hanya akan jadi angin lalu?

Sekali-kali tidak,
Jika perlu akan kutambah, kurubah dan kutanda-tanganni
Segala racun dan kebohongan ini


Yogyakarta, Februari 2018









Sabtu, 10 Februari 2018

Dia yang datang memelukku waktu itu; Cerita tentang pengalaman pembullyan


Dia yang datang memelukku waktu itu


Melihat video pembullyan anak SMP yang lagi viral hari ini. Membawa ingatan saya balik ke masa 14 tahun silam. Saat  di mana, “mimpi buruk” itu datang menimpa saya. Waktu itu, hari-hari awal saya masuk sekolah, yakni kelas satu SD. Letak SD itu pun tak jauh, persis di depan rumah saya.

Kejadiannya begini, waktu itu ada seorang teman melempar mainan dari plastik yang di dalamnya ada batu ke dalam kelas. Nah, disitu saya berusaha membuangnya kembali ke luar kelas melalui pintu. Namun naas, lemparan yang saya lakukan terlalu tinggi sehingga menyambar kaca yang ada persis di atas kusen daun pintu itu. “Pyarrrrr....” bunyi kaca berdentang dan jatuh berserakan. Setelah melihat serakan kaca itu, hati saya kosong, melompong. Seperti ada kabut asing dari dunia luar sedang menyelimuti hatinya.  Timbulah persaan bersalah,  takut, bingung, dan gelap berkecamuk menjadi satu. Segalanya campur aduk jadi satu.
Setelah itu, selang beberapa menit berita tentang adanya kaca pecah segera menyebar ke seluruh antero sekolah. Teman-teman serta kakak-kakak kelas dalam sekejap segera mengerumuni saya.
Saya yang setelah kejadian itu hanya bisa mematung di sudut ruang kelas hanya bisa diam, sambil menatap satu persatu muka dan mata sinis menyalahkan mereka. “Hayo tak laporkan pak guru lho! Biar digantung kamu!” seletuk salah satu kakak kelas saya. Suara semakin riuh menggema dalam telinga saya, “Hayo tak laporrin Pak Kepsek lho!” “Hayo lho, Ajik Lho, Hayo Lho.” Suara itu menggema, tak hanya dalam telinga saya, tapi masuk menusuk dalam jantung saya.

Saya yang waktu meringkuk di pojokan kelas hanya bisa diam, diam, dan diam sambil dalam hati mengutuki diri sendiri. Mulai berkelebatan dalam khayal kanak saya, “Bagaimana kalo pak guru yang galak itu sampai tahu?” “Bagaimana kalo pak kepala sekolah sampai tahu?” bagaimana, bagaimana dan bagaidama terus menggema dalam khayalan saya.
Hingga datanglah seorang yang tak pernah saya sangka akan datang, ternyata datang. Dia, sambil menyeka kerumunan yang ada datang, lalu memeluk saya membari berbisik, “Gapapa lee, nanti kacanya bapak ganti,” seperti bunyi malaikat, aku bangkit sambil balik memeluknya, lalu bersembunyi di belang tubuh kurusnya. “Ayo balik.” Katanya lagi sambil tersenyum dengan mata yang begitu teduh. Setelah itu ia menggendong saya dibawa balik ke rumah. Dan sore harinya ia pergi ke Mantingan, ibu kota kecamatan kami, pergi membeli kaca untuk menggantikan kaca yang saya pecahkan tadi.
Itu lah secuplik kisah saya kawan. Sebagai orang yang pernah juga merasakan bagaimana sakitnya bullyan itu. saya tak tahu jika waktu itu bapak saya yang kurus itu tak datang menolong. Akan jadi pribadi seperti apa saya sekarang. Mungkin saja, saya akan jadi seorang yang pemurung, seorang pendendam, yang selalu menyalahkan dirinya sendiri setiap waktu. Itulah kawan, dashyatnya kekuatan bully itu, maka dari itu berhati-hatilah.
Dan semenjak kejadian itu, aku berjanji pada diri saya sendiri, tentunya juga pada bapak saya. Saya tak akan menangis lagi jika dibully. Saya akan melawannya. Apapun taruhannya.
 Selanjutnya, balik lagi pada video pembullyan yang menimpa adek kita smp tadi. Ada satu adegan yang membuat jantung saya kembali sangat sedih dan terpukul. Adegan dimana dia (Adek yang menjadi korban pembullyan menangis dan memohon amoun sambil menyembah-nyembah). “Kau tak pantas memohon ampun!” kataku. “Kau tak boleh tunduk, tak boleh takluk oleh orang-orang seperti mereka,” Bangkit, dan lawan mereka. Berapa pun banyak jumlahnya. Tak apa jika nanti tubuhmu hancur berlumur darah. Paling tidak kau pernah melawan. Itu yang kulakukan dulu kawan, lawan! Jangan mau ditindas dan diperbudak, tapi jangan juga mau menindas dan memperbudak. Jangan takut, itulah yang kulakukan dulu. Semenjak SD sampai sekolah menengah. Dek, kuberi kau semangat dengan petikan puisi yang ditulis oleh William Ernest Henley, “My Head is Bloody, but Unbowed!”.
jadi, jangan takut lagi ya. Karena sebenarnya mereka itu hanyalah gerombolan pengecut yang menetek perlindungan pada gerombolannya. Tak akan berani mereka diajak duel 1 vs 1 secara laki-laki. Mulut-mulut mereka akan jadi buas seperti orang tak bisa mati saat sedang bersama. Tapi akan bungkam seperti keong saat sedang sendirian. Itulah yang kusebut pengecut de! Itulah tabiat mereka. Bangun, jangan mau cuma duduk dan ditendangi sesuka hati semacam itu. lawan mereka. Dan menangis tentu adalah hal yang lumrah dilakukan semua orang, bahkan oleh seorang lelaki sekali pun. Tapi pesanku, jangan pernah memohon ampun lagi ya! Kau berada di pihak kebenaran, oleh karena itu kau tak boleh tunduk dan takluk. Tubuhmu boleh, tapi tidak dengan jiwa dan mentalmu! Akhirnya, sekalalah air matamu, bangkit dan lawan mereka. Adekku!

FIB UGM, Yogyakarta, 10 Februari 2018