Jumat, 07 Desember 2018

Pesakitan Yang Menyenangkan


Langit gelap. Hujan tumpah. Datang bersama gemuruh petir yang berkilat-kilat. Saat itulah, Parjo keluar dari bilik isolasinya di sebuah tempat yang tak bernama. Berjalan lambat-lambat dengan tangan disilangkan ke belakang. Langkahnya gontai, dengan satu kaki yang diseret, berjalan ia menembusi derasnya air hujan yang mengguyur di luar sana bersama enam serdadu yang mengawal di depan, belakang, samping kanan dan kirinya.

Sesekali Parjo melihat ke depan melalui katub matanya yang sayu itu. Yang dari hari ke hari semakin tampak mengenaskan saja. Tampak dari matanya itu, jalan sempit berlumpur membujur berkelok-kelok di depan sana. Dengan samping kiri dan kanan berdiri dinding beton kokoh bewarna coklat-muram.

“Hey! Cepat sedikit jalannya tolol!,” bentak serdadu di sampingnya tiba-tiba.

“Cepat sedikit bisa kau jalannya bangsat?’ tungkas serdadu lain, sambil menendang punggung Parjo sekuat tenaga dari belakang.

Parjo Tersungkur, nyungsep ia ke lumpur becek tepat dua meter di depan langkah  kaki terakhirnya tadi. Sekarang yang terlihat hanyalah Keruh. Bekas lelehan air hujan yang menyapu rambut hitamnya, yang lalu turun kening, yang lalu turun ke pipi, hingga pada akhirnya jatuh pada tepi-tepian dagunya.

 Sekarang yang dilakukannya, sambil masih nyungsep di lumpur tanah tadi. Mulai dirasai ada rasa aneh dalam mulutnya. Semacam rasa anyir darah yang bercampur dengan air lumpur lumpur bekas mamah tanah, begitu hambar dan memuakkan.

Walaupun demikian, ada yang aneh dengan si pesakitan ini. Si Parjo. Ia seperti bergeming. Memang sakit ia, tapi tak tertunduk atau terkalahkan. Mirip sekali dengan penggambaran tokoh aku dalam puisi Invictus karya William Ernest Henley itu.

Dalam dirinya seperti ada kekuatan aneh yang muncul, kekuatan yang bahkan tak dimiliki oleh para serdadu tegap para pengawalnya itu. Ia seperti tembok kokoh yang tetap tegak berdiri menghadapi siksaan demi siksaan yang menghantam dirinya. Entah itu mulai dari di bilik isolasinya, ataupun yang sampai sekarang seperti dilakukan oleh serdadu pengawalnya tapi.

Saat mencoba bangun setelah ditendang dan nyungsep di tanah itu. Tampak dari dalam matanya yang hitam sayu itu. Walaupun kuyu tapi masih tetap memancarkan rona hidup dan kehidupan. Bahkan, kadang-kadang ia masih bisa tersenyum sedikit sembari mendongakkan kepalanya ke atas menatap langit-langit. “Inilah hidup! Inilah takdir hidup bagi orang-orang sepertiku!”, gumamnya dalam hati.

Setelahnya, ia kembali menatap ke tanah yang ada di bawahnya tapi sembari mengumpulkan sisa-sisa  tenaganya terakhirnya yang ada: mencoba bangkit kembali, berdiri lagi, namun gagal, tersungkur lagi ia ke tanah. Sekarang yang dilihatnya hanyalah gelap. Ya. Gelap yang pekat.

*****

Dengan muka, badan  dan kaki masih tertelungkup di tanah. Mulai dirasainya dingin yang tak berperi di sekujur tubuhnya. Di kiri dan kanan, dilihatnya hanya terpampang gambaran mengenai tembok-tembok beton nan kokoh lengkap dengan sebuah lambu bohlam warna merah termeram di tengahnya.

Sambil menggigil setengah sadar, mulai berkelebatan ingatan dari masa lalunya. Saat ia masih hidup tentram di desa sebagai petani dulu. Yang tiap pagi selepas sembahyang subuh ia kunjungi sawahnya dengan tanpa putus-putus. Yang sebelum surya terbit ia sudah berada disana, barangkali hanya sekedar untuk memeriksa bagaimana jalannya saluran air, atau mengusiri burung-burung pipit nakal yang numpang sarapan pagi di sawahnya itu. 

Sumber gambar: Riauone.com


Mulai bermunculan pula ingatan tentang masa bocahnya dulu, saat ia masih bebas bermain dengan riangnya kecek di Kali Bengawan Solo. Bebas melompat, jumpalitan dan berenang kesana-kemari. Layaknya anak kalong di Jalanan ibukota  yag lepas dari induk semangnya. Bebas, lepas dan tanpa beban. Waktu itu, yang ada hanyalah tentang hari ini, dan esok adalah mau kemana lagi kita berpetualang dan bermain. Ah.. waktu.

********,

            Parjo membuka matanya sedikit demi sedikit. Buram. Makin lama makin jelas keburaman itu. Gelap, samar dan pengap. Itulah kesan pertama Parjo akan ruangan ini. Hanya diterangi sebatang lilin harga 2 perak di pojok sana. Lengkap dengan lantai cor beceknya. Parjo mulai meraba-raba kembali tubuhnya, ada beberapa bagian yang serasa mati rasa, dengan bagian lain terasa nyeri.

“Kau anggota Partai Komunis kan, ayoh ngaku?” tanya serdadu yang duduk di depannya

Parjo masih bergeming. Samar. Mencoba menguasai dirinya kembali sambil sedikit mendongakkan kepala menatap wajah si penanya

“Ini lihat buktinya! Ini bukti dari keanggotaan Partai Komunismu! Hayoh ngaku kau! Masih mau mengelak apa lagi kau?! ” tambah si serdadu sambil menunjukan ke surat penyataan keanggotaan Partai

Parjo mencoba melihat surat pernyataan itu dalam remang. Sembari mencoba membacanya secara terbata-bata. Namun, setelah itu pikirannya terbang entah kemana. Mulai diingat-ingat kembali rentetan peristiwa yang menimpanya sebulan terakhir ini. Yang diawali dengan datangnya berita tentang kudeta yang telah dilakukan oleh Partai Komunis di Jakarta pada tanggal 30 September lalu. Lalu berita tentang terbunuhnya banyak Jendral Angkatan Darat, dimana tempat pastinya itu. Parjo tak tahu.  

Parjo sendiri sebenarnya kurang terlalu paham mengenai apa isi dan maksud berita itu, dan  apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Biarlah itu menjadi urusan orang-orang besar atas sana, kita orang kecil ini hanya bisa ngikut saja,” katanya sambil membelai lembut rambut sang Istri yang berada di pangkuannya.

Setelahnya, Parjo masih beraktivitas seperti biasa. Bangun pukul empat pagi, lalu berak di kali. Mengambil air wudhu dan sembahyang subuh lagi, setelahnya hidupnya hanya dihabiskan di sawah. Terus seperti itu sampai hari itu terjadi; hari dimana desa Parjo yang tenang di utara Bengawan Solo digegerkan oleh datangannya satu kompi serdadu bersenjata lengkap.

Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung menggeledah setiap rumah yang ada. Kaya, miskin, jelek, mewah atau reot, tak peduli mereka. “Desa ini adalah sarang komunis!,” Kata Sang Komandan. “Barang siapa tak melaporkan siapa saja yang menjadi anggota partai terkutuk itu. Dan jika ada yang terbukti menyembunyikan identitas mereka, harta, rumah bahkan jasadnya akan ikut dibakar!”. 

Hari itu kacau, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Langit  merekah merah, tetapi tidak seperti biasa, ada yang hilang sore ini. Seperti hilangnya suara adzan magrib setelahnya. Masyarakat desa pontang-panting, saling tuduh dan curiga satu sama lain. Paiman tetangga parjo yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Parjo, rumahnya dibakar, Ia, anak dan istrinya disembelih di kebun belakang rumah. Ada yang melapor bahwa mereka adalah anggota dan simpatisan Partai Komunis. Hal serupa dialami Ilham, bocah pendiam yang sedikit dungu itu. Ia ditembak di depan mata orang tuanya sendiri, lalu mayatnya dilempar ke Kali Bengawan Solo. Hanyut, lalu lenyap.

Waktu kejadian itu, Parjo baru pulang dari sawahnya. Sehabis mandi di kali, ia mulai berjalan lambat-lambat dengan cangkul dipundak. Setelah menaiki bukit kecil di atas kali, ia terkejut. Desa tak seperti biasanya, ada kobaran api dimana-mana, lolongan bayi dan para wanita yang menangis bersaing dengan lolongan anjing; saling bersautan.

Tanpa berfikir panjang, ia langsung lari menuju rumahnya, untuk melihat keadaan istri dan anak tercintanya. Tetapi sayang, mereka telah lenyap, hilang ditelan buramnya petang. Rumahnya kocar-kacir, barang-barangnya berserakan. Tak lama setelahnya, seperti ada benda keras menghantam tengkuknya dari belakang, ia terjatuh. Pingsan. Setelahnya, saat tersadar tiba-tiba ia sudah berada di sel isolasinya itu.

“Woy.. Bajingan tak tahu diuntung! Jawab pertanyaanku!” bentak sang serdadu sambil menghantam pelipis parjo dengan popor senjata di tangannya.

Tersadar Parjo dari lamunannya. Tergagap ia. Muncrat darah dari pelipisnya, sambil menggigil ia menjawab.

“Bukan tuan, demi Allah bukan, Partai Komunis itu rupanya seperti apa saja, aku tak tahu”

“Lha ini, ini bukti keanggotaan partaimu”

“Demi Allah tuan, itu bukan aku, bukan juga tulisan dan tanda tanganku” jawab Parjo lagi

“Ok. Jika kamu masih terus mengelak dan tak mau mengaku!.” tungkas Sang Serdadu

Parjo hanya terseyum. Teduh. Ia telah siap menghadapi apa yang akan segera dihadapinya di depan sana.

*****

Putih. Putih. Dan putih. “Apakah ini yang dinamakan alam baka?,” kata Parjo pada dirinya sendiri. “Kalau memang iya, mengapa bisa sekosong dan seputih ini?,” Ia tak merasakan apapun lagi sekarang, semua kesakitannya hilang, beban di pundaknya lenyap. “Di mana orang-orang?” “Di mana para malaikat yang menanyaiku?.” Ia tak mampu lagi merasakan mana kaki, mana tangan, mana badan dan mana kepala. Yang ada hanya putih dan kekosongan. Aneh. Hatinya bolong. Ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terakhir kali terjadi kepadanya. Lupa. Ia lupa tetapi kadang-kadang teringat. Iya ingat tetapi terkadang juga terlupa. Aneh.

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar