Langit gelap. Hujan tumpah. Datang bersama gemuruh petir yang
berkilat-kilat. Saat itulah, Parjo keluar dari bilik isolasinya di sebuah
tempat yang tak bernama. Berjalan lambat-lambat dengan tangan disilangkan ke
belakang. Langkahnya gontai, dengan satu kaki yang diseret, berjalan ia menembusi
derasnya air hujan yang mengguyur di luar sana bersama enam serdadu yang
mengawal di depan, belakang, samping kanan dan kirinya.
Sesekali Parjo melihat ke depan melalui katub matanya yang
sayu itu. Yang dari hari ke hari semakin tampak mengenaskan saja. Tampak dari
matanya itu, jalan sempit berlumpur membujur berkelok-kelok di depan sana.
Dengan samping kiri dan kanan berdiri dinding beton kokoh bewarna coklat-muram.
“Hey! Cepat sedikit jalannya tolol!,” bentak serdadu di sampingnya
tiba-tiba.
“Cepat sedikit bisa kau jalannya bangsat?’ tungkas
serdadu lain, sambil menendang punggung Parjo sekuat tenaga dari belakang.
Parjo Tersungkur, nyungsep
ia ke lumpur becek tepat dua meter di depan langkah kaki terakhirnya tadi. Sekarang yang terlihat
hanyalah Keruh. Bekas lelehan air hujan yang menyapu rambut hitamnya, yang lalu
turun kening, yang lalu turun ke pipi, hingga pada akhirnya jatuh pada
tepi-tepian dagunya.
Sekarang yang
dilakukannya, sambil masih nyungsep di
lumpur tanah tadi. Mulai dirasai ada rasa aneh dalam mulutnya. Semacam rasa
anyir darah yang bercampur dengan air lumpur lumpur bekas mamah tanah, begitu hambar
dan memuakkan.
Walaupun demikian, ada yang aneh dengan si pesakitan ini.
Si Parjo. Ia seperti bergeming. Memang sakit ia, tapi tak tertunduk atau
terkalahkan. Mirip sekali dengan penggambaran tokoh aku dalam puisi Invictus karya William Ernest Henley
itu.
Dalam dirinya seperti ada kekuatan aneh yang muncul,
kekuatan yang bahkan tak dimiliki oleh para serdadu tegap para pengawalnya itu.
Ia seperti tembok kokoh yang tetap tegak berdiri menghadapi siksaan demi siksaan
yang menghantam dirinya. Entah itu mulai dari di bilik isolasinya, ataupun yang
sampai sekarang seperti dilakukan oleh serdadu pengawalnya tapi.
Saat mencoba bangun setelah ditendang dan nyungsep di tanah itu. Tampak dari dalam matanya
yang hitam sayu itu. Walaupun kuyu tapi masih tetap memancarkan rona hidup dan
kehidupan. Bahkan, kadang-kadang ia masih bisa tersenyum sedikit sembari mendongakkan
kepalanya ke atas menatap langit-langit. “Inilah hidup! Inilah takdir hidup
bagi orang-orang sepertiku!”, gumamnya dalam hati.
Setelahnya, ia kembali menatap ke tanah yang ada di
bawahnya tapi sembari mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya terakhirnya yang ada: mencoba bangkit kembali, berdiri lagi,
namun gagal, tersungkur lagi ia ke tanah. Sekarang yang dilihatnya hanyalah
gelap. Ya. Gelap yang pekat.
*****
Dengan muka, badan
dan kaki masih tertelungkup di tanah. Mulai dirasainya dingin yang tak
berperi di sekujur tubuhnya. Di kiri dan kanan, dilihatnya hanya terpampang
gambaran mengenai tembok-tembok beton nan kokoh lengkap dengan sebuah lambu
bohlam warna merah termeram di tengahnya.
Sambil menggigil setengah sadar, mulai berkelebatan ingatan
dari masa lalunya. Saat ia masih hidup tentram di desa sebagai petani dulu. Yang
tiap pagi selepas sembahyang subuh ia kunjungi sawahnya dengan tanpa
putus-putus. Yang sebelum surya terbit ia sudah berada disana, barangkali hanya
sekedar untuk memeriksa bagaimana jalannya saluran air, atau mengusiri burung-burung
pipit nakal yang numpang sarapan pagi di sawahnya itu.
Sumber gambar: Riauone.com
Mulai bermunculan pula ingatan tentang masa bocahnya dulu,
saat ia masih bebas bermain dengan riangnya kecek
di Kali Bengawan Solo. Bebas melompat,
jumpalitan dan berenang kesana-kemari. Layaknya anak kalong di Jalanan ibukota yag
lepas dari induk semangnya. Bebas, lepas dan tanpa beban. Waktu itu, yang ada hanyalah
tentang hari ini, dan esok adalah mau kemana lagi kita berpetualang dan bermain.
Ah.. waktu.
********,
Parjo membuka
matanya sedikit demi sedikit. Buram. Makin lama makin jelas keburaman itu. Gelap,
samar dan pengap. Itulah kesan pertama Parjo akan ruangan ini. Hanya diterangi sebatang
lilin harga 2 perak di pojok sana. Lengkap dengan lantai cor beceknya. Parjo mulai
meraba-raba kembali tubuhnya, ada beberapa bagian yang serasa mati rasa, dengan
bagian lain terasa nyeri.
“Kau anggota Partai Komunis kan, ayoh ngaku?” tanya
serdadu yang duduk di depannya
Parjo masih bergeming. Samar. Mencoba menguasai dirinya kembali
sambil sedikit mendongakkan kepala menatap wajah si penanya
“Ini lihat buktinya! Ini bukti dari keanggotaan Partai Komunismu!
Hayoh ngaku kau! Masih mau mengelak apa lagi kau?! ” tambah si serdadu sambil
menunjukan ke surat penyataan keanggotaan Partai
Parjo mencoba melihat surat pernyataan itu dalam remang.
Sembari mencoba membacanya secara terbata-bata. Namun, setelah itu pikirannya
terbang entah kemana. Mulai diingat-ingat kembali rentetan peristiwa yang
menimpanya sebulan terakhir ini. Yang diawali dengan datangnya berita tentang
kudeta yang telah dilakukan oleh Partai Komunis di Jakarta pada tanggal 30
September lalu. Lalu berita tentang terbunuhnya banyak Jendral Angkatan Darat,
dimana tempat pastinya itu. Parjo tak tahu.
Parjo sendiri sebenarnya kurang terlalu paham mengenai
apa isi dan maksud berita itu, dan apa yang
sebenarnya sedang terjadi. “Biarlah itu menjadi urusan orang-orang besar atas
sana, kita orang kecil ini hanya bisa ngikut saja,” katanya sambil membelai
lembut rambut sang Istri yang berada di pangkuannya.
Setelahnya, Parjo masih beraktivitas seperti biasa. Bangun
pukul empat pagi, lalu berak di kali. Mengambil air wudhu dan sembahyang subuh
lagi, setelahnya hidupnya hanya dihabiskan di sawah. Terus seperti itu sampai
hari itu terjadi; hari dimana desa Parjo yang tenang di utara Bengawan Solo digegerkan
oleh datangannya satu kompi serdadu bersenjata lengkap.
Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung menggeledah setiap
rumah yang ada. Kaya, miskin, jelek, mewah atau reot, tak peduli mereka. “Desa
ini adalah sarang komunis!,” Kata Sang Komandan. “Barang siapa tak melaporkan
siapa saja yang menjadi anggota partai terkutuk itu. Dan jika ada yang terbukti
menyembunyikan identitas mereka, harta, rumah bahkan jasadnya akan ikut
dibakar!”.
Hari itu kacau, matahari mulai tenggelam di ufuk barat.
Langit merekah merah, tetapi tidak seperti
biasa, ada yang hilang sore ini. Seperti hilangnya suara adzan magrib
setelahnya. Masyarakat desa pontang-panting, saling tuduh dan curiga satu sama
lain. Paiman tetangga parjo yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Parjo,
rumahnya dibakar, Ia, anak dan istrinya disembelih di kebun belakang rumah. Ada
yang melapor bahwa mereka adalah anggota dan simpatisan Partai Komunis. Hal serupa
dialami Ilham, bocah pendiam yang sedikit dungu itu. Ia ditembak di depan mata orang
tuanya sendiri, lalu mayatnya dilempar ke Kali Bengawan Solo. Hanyut, lalu lenyap.
Waktu kejadian itu, Parjo baru pulang dari sawahnya.
Sehabis mandi di kali, ia mulai berjalan lambat-lambat dengan cangkul dipundak.
Setelah menaiki bukit kecil di atas kali, ia terkejut. Desa tak seperti biasanya,
ada kobaran api dimana-mana, lolongan bayi dan para wanita yang menangis
bersaing dengan lolongan anjing; saling bersautan.
Tanpa berfikir panjang, ia langsung lari menuju rumahnya,
untuk melihat keadaan istri dan anak tercintanya. Tetapi sayang, mereka telah lenyap,
hilang ditelan buramnya petang. Rumahnya kocar-kacir, barang-barangnya
berserakan. Tak lama setelahnya, seperti ada benda keras menghantam tengkuknya
dari belakang, ia terjatuh. Pingsan. Setelahnya, saat tersadar tiba-tiba ia
sudah berada di sel isolasinya itu.
“Woy.. Bajingan tak tahu diuntung! Jawab pertanyaanku!”
bentak sang serdadu sambil menghantam pelipis parjo dengan popor senjata di
tangannya.
Tersadar Parjo dari lamunannya. Tergagap ia. Muncrat
darah dari pelipisnya, sambil menggigil ia menjawab.
“Bukan tuan, demi Allah bukan, Partai Komunis itu rupanya
seperti apa saja, aku tak tahu”
“Lha ini, ini bukti keanggotaan partaimu”
“Demi Allah tuan, itu bukan aku, bukan juga tulisan dan
tanda tanganku” jawab Parjo lagi
“Ok. Jika kamu masih terus mengelak dan tak mau mengaku!.”
tungkas Sang Serdadu
Parjo hanya terseyum. Teduh. Ia telah siap menghadapi apa
yang akan segera dihadapinya di depan sana.
*****
Putih. Putih. Dan putih. “Apakah ini yang dinamakan alam
baka?,” kata Parjo pada dirinya sendiri. “Kalau memang iya, mengapa bisa sekosong
dan seputih ini?,” Ia tak merasakan apapun lagi sekarang, semua kesakitannya
hilang, beban di pundaknya lenyap. “Di mana orang-orang?” “Di mana para
malaikat yang menanyaiku?.” Ia tak mampu lagi merasakan mana kaki, mana tangan,
mana badan dan mana kepala. Yang ada hanya putih dan kekosongan. Aneh. Hatinya
bolong. Ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terakhir kali terjadi
kepadanya. Lupa. Ia lupa tetapi kadang-kadang teringat. Iya ingat tetapi
terkadang juga terlupa. Aneh.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar