Sabtu, 15 Desember 2018

Ketika kawan dari masa lalu datang.


Seorang kawan baik dari masa lalu tiba-tiba saja datang ke Jogja tanpa sebab, mengajak bertemu, dan saya disuruh menemaninya untuk berkeliling jalan-jalan di Malioboro. Pertemuan kami berjalan baik seperti biasanya, penuh ngakak-an tolol dan diselilingi pisuhan di sana-sini.

 Kami sedang asik mengobrol tentang kisah-kisah indah yg telah lewat waktu itu di sana. Sebelum akhirnya ia tiba-tiba saja menyeloroh berkata, kata-kata yg sebenarnya tak terlalu enak didengar oleh telinga dan dirasa oleh hati seperti ini, “Kau, kawanku, kenapa? Kenapa masih seperti ini saja?” sambil tersenyum.

 “Maksudmu?”

 “Halah, sudahlah aku kenal kamu sudah lama, dan aku tahu kamu itu luar-dalam, mau sampai kapan kamu seperti ini? Mengutuki diri sendiri seperti orang tolol begini, sudah 3 tahun berlalu lho, sampai kapan kamu masih terus menyalahkan dirimu sendiri begini? Sampai kapan kau gadaikan kebahagianmu begini?”

“Mohon maaf, tapi saya sudah bahagia dengan begini, bahagia dengan kehidupan saya yang sekarang ini.”

“Omong-kosong keparat apalagi ini, hee? Udahlah, biarkan dirimu bahagia, karena toh dia juga telah bahagia dengan orang lain tho sekarang? Semua ini bukan salahmu, ia yang pergi dan memilih orang lain. Memang benar ia lah yang telah merubahmu seluruhnya, memperkenalkan dengan dunia yang kini begitu kau cintai? Tapi lihat lah kenyataannya sekarang, ia memilih pergi tho? Selain itu, biarkan juga ia semakin berbahagia, lepas dari semua beban rasa bersalah padamu,”

“Aku sudah tak ada rasa apa-apa lagi denganya, keparat. Sekarang pun aku juga sudah mulai menyukai dan mendekati beberapa orang gadis.”


“Hey, aku tahu kau. Yang kau lakukan sekarang ini lebih mirip yang dilakukan oleh para gigolo murahan itu. Menggadaikan diri untuk lepas dari rasa sepi dan kesedirianmu. Senyummu yang menyungging ketika bertemu gadis-gadis lain itu, tatapanmu, semua palsu. Kau hanya ingin mengobati rasa kesendirianmu dan kesepianmu, di sisi yang lain, kau bajingan-keparat! Tak mau membuka barang secuil pun hatimu pada mereka.”

“Aku sudah mulai membukanya, paling tidak aku sudah mulai membuka diri,”

“Tidak. Kau belum membuka diri. Kau hanya ingin menunjukan, membuktikan padanya bahwa kau masih hidup, masih survive. Dan lihat apa yang kau lakukan sekarang itu tak jauh berbeda seperti yang kau lakukan dulu ketika kau mengajakku bertemu waktu itu, setelah dia mengatakan telah menaruh hatinya pada orang lain itu. Kau sok tegar, tersenyum tolol lalu berkata, “aku baik-baik saja, lihat, aku tak menangis atau merasa sesak di dalam dada”, sekarang kulihat, kau masih saja tak jauh beda dengan yang dulu itu. Mau sampai kapan, Kawan?”

Mendengar kata-katanya yang bak halilintar yang menggelegar itu. aku diam. Sembari berkata dalam hati, “Bajingan keparat ini, sok tahu sekali tentang hidupku, Bajingan ini jangan-jangan ke Jogja cuma buat ngomong omong kosong keparat ini doang, tapi, tapi, tapi, apakah semua yang dikatakan oleh kawan dari masa kecil hingga remaja ini tadi memang benar adanya? Apakah aku masih setolol dan sedungu itu?” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar