Jumat, 19 Juni 2020

Menengok Nusa Utara: Lintasan Niaga yang Kini Jadi Daerah Periferi Republik


Sejarawan Perancis, Dennys Lombard pernah mengatakan, di Nusantara, setidaknya sampai paruh terakhir abad ke-15 terdapat enam satuan kawasan perniagaan-laut. Keenam kawasan-laut tersebut terbagi sebagai berikut: (1) Selat Malaka, (2) Selat Sunda, (3) Laut Jawa, (4) Bali dan pulau-pulau sekitarnya, (5) Laut Sulawesi, serta yang terakhir (6) Laut Maluku. Keenamnya, bisa terbentuk hingga sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh dua sebab utama. Pertama, daerah tersebut merupakan tempat di mana jalur perniagaan menuju Pulau Rempah berada. Kedua, sebagai tempat di mana persaingan dagang dan perebutan hegemoni kekuasaan sedang berlangsung (Lombard, 1987: 3-12). 

 Ia juga menambahkan, kala itu aktor dari luar yang turut bermain dalam urusan perdagangan rempah ini pun masih terbatas dari kalangan orang-orang Timur Asing, entah itu dari golongan pedagang Arab, India ataupun Cina. 

Dalam bukunya, Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, Alex John Ulaen menjelaskan, sebagai daerah yang masuk pada kawasan perniagaan Laut Sulawesi, peran Nusa Utara (Wilayah Kepulauan Sangihe dan Talaud sekarang) adalah sebagai tempat transit penting dari dua jalur perniagaan utama menuju Pulau Rempah. Yakni, bagi para pedagang yang datang berlayar dari arah barat, Malaka sana, yang biasanya akan berlayar menuju Pulau Rempah dengan menyusuri laut di bagian utara Pulau Borneo, lalu berbelok ke arah timur menuju Laut Sulu, transit di Kepulauan Nusa Utara ini, baru setelahnya pergi ke Pulau Rempah (Wilayah Maluku Utara sekarang). Sedangkan dalam jalur pelayaran lain, adalah yang biasa dilalui oleh para pedangan dari daratan Cina yang berlayar melalui wilayah barat Kepulauan Filipina, menuju ke Laut Sulu, transit sebentar di Kepulauan Nusa Utara, baru setelahnya pergi  manuju ke Pulau Rempah (hlm. 37).

Dua jalur pelayaran inilah yang nantinya akan diikuti oleh Bangsa-Bangsa Barat ketika mereka hendak menuju ke Pulau Rempah pada awal-awal kedatangannya di Nusantara.

Catatan-catatan dari Barat

            Catatan Barat pertama mengenai keberadaan gugusan kepulauan kecil di utara Sulawesi ini,  datang dari seorang penjelajah Spanyol bernama Ferdinand Magellans dalam perjalanan terkenalnya mengelilingi bumi. Sebagaimana yang dikutip oleh Ulaen dari catatan Pribadi Antonio Pigafetta (salah satu juru tulis dalam rombongan Magellan tersebut) yang tertanggal, 28 Oktober 1521 menyebutkan sebagai berikut:

“Tanggal 28 Oktober 1521, berlayar ke selatan-tenggara, kami melewati delapan buah pulau, sebagian dihuni dan sebagian tidak berpenduduk. Mereka menamaninya Cheava (Marore?), Cavio (kawio), Cabiao (Kamboleng), Camanuca (Mamanuk/matutuang), Cabaluzao (Cawaluso), Cheai (Dumarehe). Lipan (Lipaeng) dan Nusa (Nusa). Pulau Sanghir (Sangihe-Besar) merupakan pulau terbesar di gugusan Kepulauan Sangihe. Di sana terdapat empat raja, yakni raja matandatu, raja Laga, raja Bapti, dan raja Parabu.”

Sementara itu, Robertus Padbrugge, seorang pegawai VOC yang berkunjung ke daerah ini pada 1677 juga menambahkan hal lain mengenai keberadaan gugusan kepulauan ini. Selain membicarakan tentang letak geografisnya yang strategis sebagai tempat transit,  gugusan kepulauan ini ternyata juga menyimpan potensi lain yang tak kalah menjanjikan, yakni menghasilkan beberapa komoditi penting yang sangat dicari kala itu seperti minyak kelapa (coconut oil) dan kopra (Ulaen, 2016: 43-44). Alasan-alasan yang terakhir inilah yang lebih lanjut, menjadi magnet lain bagi Bangsa-Bangsa Barat untuk datang menancapkan kekuasaannya di sana.
 Penggambaran yang hampir serupa juga diperlihatkan oleh Pendeta Brillman, yang dalam bukunya, Onze zendingvelden: De zending op de Sangi – en Talaud – eilanden door(1938), menyebutkan, “Jika kita memandang ke arah daratannya, di sana-sini timbul bukit-bukit yang menjulang ke awan, lereng-lereng bersahutan ribuan, sekali lagi ribuan pohon kelapa dan kopra, di mana-mana di seluruh Hindia ini tak ada bandingannya.” (hlm. 2).

Barat Mulai Menancapkan Hegemoninya

Letak geografis yang strategis serta potensi komoditi ekspor yang menjanjikan, membuat tiga kekuatan Barat utama (Belanda, Portugis, dan Spanyol) bersaing mati-matian untuk menancapkan pengaruh di gugusan kepulauan ini (dari mulai pertengahan abad ke-16 sampai akhir abad ke-18).

Seperti biasa, upaya pertama yang mereka lakukan untuk mencapai tujuannya ini adalah dengan cara membangun hubungan baik dengan para penguasa lokal yang ada. Awalnya, dengan pendekatan agama melalui misi “pemberadaban” yang dibawanya. Lalu setelahnya akan diikuti dengan “bumbu-bumbu pemanis” berupa janji akan membantu kekuatan militer dari penguasa lokal tersebut untuk menghadapi kekuatan lokal lain yang dianggapnya menjadi pengganggu/pesaing. Atau dalam beberapa kasus lain, juga ada dari para penguasa lokal tersebut yang justru mengundang kekuatan Barat ini untuk datang ke daerahnya (Invited Colonialisme), dengan tujuan pasti: mencari perlindungan dari serangan kekuatan lokal lain yang dianggap sebagai musuh/pengancam.


Sumber gambar: digital collection Leiden University.nl

Contoh paling pas untuk penggambaran kasus ini adalah, yang Portugis lakukan pada 1563, yang mana pada tahun tersebut mereka mengirimkan seorang Pastor Jesuitnya yang bernama Diego de Magelhaes. Namun ternyata dalam misi “pemberadaban” yang dibawanya ini. Sang pastor ternyata tidak “dilepas” sendiri, melainkan juga datang menyertainya seorang Kapten Portugis yang bernama Goncolo Pereyra Marramaque dengan lebih dari seratus anak buah di belakangnya menuju ke wilayah ini. Tujuannya sudah barang tentu selain untuk membawa misi “pemberadaban”, ternyata mereka juga diminta oleh penguasa lokal yang ada di sana, yakni Raja Siau untuk mengusir pengaruh dari Kerajaan Ternate di wilayah kepulauan tersebut (Ulaen, 2016: 65-66).

Menjadi daerah periferi

Hal penting yang menjadi alasan pokok terjadinya transformasi di daerah ini; dari daerah yang sebelumnya menjadi lintasan perniagaan utama ke daerah periferi adalah, dengan mulai mapannya dua “entitas politik” kolonial di sekitar daerah ini. Hindia-Belanda yang mulai mantap mengontrol wilayah Nusantara, dan kekuasaan Spanyol di wilayah kupulauan Filipina. Menguatnya dua entitas politik kolonial ini, mau tak mau juga membuka babak baru dalam sistem perniagaan yang ada di wilayah laut Sulewesi dan laut Maluku. Di mana dalam hal ini, justru wilayah gugusan kepulauan menjadi daerah tapal batas bagi dua entitas politik kolonial tersebut (Ulaen, 2016: 175-176). 

Kondisi ini semakin diperparah dengan semakin berbiaknya pratik-praktik penjarahan bajak laut di daerah Sulu (Sulu Zone), wilayah bagian barat dari kepulauan ini. James Francis Waren dalam bukunya The Sulu Zone (1768-1898): The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ettnicity in The Transformation of a Southeast Asian Maritime State (1981), mencatat. Pada kurun pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke-19, wilayah laut Sulu menjadi wilayah yang paling berbahaya untuk dilintasi kapal-kapal pedagang yang hendak menuju Pulau Rempah. Selain merampas barang dagangan, para bajak laut ini, biasanya juga menyasar para awak kapalnya untuk dijual menjadi budak-belian di pasar budak yang ada pada waktu itu (hlm. 149-152).

Oleh karena itu, untuk menghindari para bajak laut itu, banyak dari pedagang yang mengalihkan jalur pelayarannya ke sisi selatan, melalui laut Jawa lalu ke laut Sulawesi bagian selatan, baru setelahnya berbelok ke arah utara menuju ke Pulau Rempah.

Dengan keterasingan geo-politik seperti itu. Mau tak mau berdampak pada merosotnya pendapatan di bidang ekonomi bagi penduduk di wilayah ini. Utamanya, yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan pokok, yakni, masalah Sandang dan pangan. Jika sebelumnya terjadi pertukaran yang masif berbagai macam komoditi seperti,  minyak kelapa dengan beras yang datang dari Jawa, atau pun kopra dengan tekstil dari Cina, kini hal itu tak terjadi lagi.

Kini penduduk dan wilayah kepulauan ini benar-benar menjadi terasing dan dilupakan. Bahkan kondisi ini tak berubah setelah negara kita, Indonesia merdeka pada 1945. Dan bukankah, diakui atau tidak, wilayah geo-politik negeri kita ini adalah warisan atau blue-print dari wilayah Hindia-Belanda dulu. Di mana menempatkan wilayah gugusan kepulauan ini menjadi batas paling utaranya yang berbatasan langsung dengan laut Filipina.


Referensi:
Alex John Ulaen. 2016. Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan.             Yogayakarta: Ombak.

D. Brillman. 2000. Kabar Baik di Bibir Pasifik. Jakarta: Sinar Harapan. Diterjemahkan dari         Bahasa Belanda, “Onze zendingsvelden: De zending op de Sangi-en Talaud- eilanden door”.

James Francis Waren. 1981. The Sulu Zone (1768-1898): The Dynamics of External Trade,          Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Ken Ridge, Singapore: Singapore University Press.

Dennys Lombard. 1987. Regions And Regional Developments in The Malay-Indonesian World.   Otto Harrassowitz-Wiesbaden.

Jumat, 15 Maret 2019

Port Moresby: Kota Para Raskol di Sisi Timur Papua


Jika Anda adalah seorang backpacker sejati dengan kondisi keuangan berlebih, serta memiliki kecenderungan memimpikan petualangan sinting yang anti-mainstream. Ada baiknya jika Anda memasukan kota ini dalam list catatan rencana perjalanan Anda selanjutnya. Dijamin, di samping akan menyugukan pemandangan alam yang indah-sedap dipandang mata, kota ini juga akan memberikan semacam pengalaman intim-menarik, yang mungkin saja, tak akan pernah bisa Anda temui dan rasakan di kota-kota lain yang pernah Anda kunjungi sebelumnya.

            Port Moresby, namanya. Kota yang juga merupakan ibukota negara tetangga kita ini: Papua Nugini, terletak di bagian ekor burung, atau sisi paling tenggara di wilayah pulau New Guinea (atau yang akrab ditelinga kita dengan nama Papua). Berpenduduk sekitar 283,733 jiwa dengan luas wilayah mencapai 240 km2 (worldpopulationreview pada 2019).

            Sebenarnya, tak ada hal aneh yang terlihat secara mencolok dengan kota ini jika dipandang secara general dari luar. Sama seperti halnya banyak wajah ibukota lain di dunia. Hampir di seluruh sudut kota ini juga dapat ditemui dengan mudah gedung-gedung pencakar langit raksasa, jalan-jalan raya protokol nan mulus, serta berbagai fasilitas modern penunjang lain, yang kita tahu, adalah salah-satu prasyarat penting penunjang ibukota sebuah negara.

            Akan tetapi, jangan kaget nantinya kalau semisal, setelah Anda sampai di sana lalu menyusuri langsung jalanan di sudut-sudut kota yang ada. Lalu Anda akan mendapati, ternyata di sekeliling gedung-gedung modern nan mentereng itu diputari oleh dinding-dinding beton raksasa yang ditaruh kawat-kawat pisau di atasnya. Lengkap dengan pengamanan ekstra ketat di sana-sini oleh para penyedia layanan pengamanan swasta (Security Guard).

            Dan jangan kaget pula, jika Anda secara kebetulan akan menyaksikan kegiatan penodongan, pencopetan, perampokan  ataupun tindakan kriminal lain yang dilakukan secara terang-terangan di tempat umum—tanpa ada seorang pun yang memperdulikan dan berusaha menolong.

            Dailymail dalam investigasi seriusnya yang berjudul The Gangs of New Guinea: Chilling  photograps show street criminals in one of the world’s most uninhabitable cities (29/10/2012) menyebut.


Sumber gambar: Dailymail.co.uk

            Semenjak merdeka dari Australia pada 1975, kota Port Moresby berubah jadi salah-satu kota “angker” di dunia. Tempat di mana para raskol (raskol adalah plesetan kata dari bahasa Inggris, rascal, yang berarti para bajingan atau berandalan) berkumpul. Kesenjangan ekonomi yang tak terjembatani, kulture kekerasan yang ada,  polisi dan pejabat yang korup, sistem pendidikan yang macet, serta “permainan” penyedia layanan keamanan swasta oleh para ekspatriat asing adalah beberapa contoh perihal, yang menjadi penyebab utama kemuculan dari para geng raskol ini. Tak hanya orang dewasa, dalam laporan itu juga menyebut bahwa anak-anak juga turut ambil bagian dalam komplotan ini.



Kota “angker” yang tak termaknai

            Sebagaimana dimuat oleh News.com.au dalam salah satu artikelnya yang berjudul Whatever you do, don’t go outside’: Aussie’s horror work trip (4/12/2017). Para ekspatriat Australia punya olok-olokan tersendiri untuk menggambarkan suasana kota ini. Yakni  menyebutnya dengan nama, “kota di siang hari”.

            Maksudnya di sini adalah, Anda hanya akan bisa beraktifitas secara normal di kala matahari masih tampak di atas batok kepala Anda. Dan aktivitas itu pun—jika Anda ingin benar-benar aman--terbatas pada aktivitas yang bertempat di tengah-tengah lingkungan mewah atau kedutaan. Yang dijaga secara ketat oleh para penyedia layanan keamanan swasta (security guard) yang ada.        



            Hal ini diamini pula oleh seorang backpacker “gila” Indonesia asal Lumajang, Agustinus Wibowo. Yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk melakukan petualangan sinting menjelajahi kota-kota berbahaya di seluruh penjuru dunia. Di salah-satu artikel perjalananya di laman blog pribadinya yang berjudul Port Moresby 18 Agustus 2014: Berpetualang di Kota Para Raskol.

            “Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, salah seorang warga Indonesia yang sudah empat tahun bekerja di supermarket yang ada di sana, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” ucapnya.”


Sumber gambar: Theaustralian.com.au

            Itu pun, terkadang mobil masih dilempari dengan batu atau dihentikan orang di jalan. Bahkan kalau ban bocor pun, orang-orang akan lebih memilih terus memaksa menancap gas sampai rumah; tak seorang pun berani turun dari mobil untuk mengganti ban, apalagi di tengah malam.

            Para Raskol itu bisa muncul di tempat dan waktu dan dengan cara yang tidak pernah kita duga. Dan raskolisme itu benar nyata adanya, sampai banyak eskpatriat bosan yang rela membayar uang langganan US$1.000 per tahun untuk masuk klub eksklusif Yacht Club (dan masih harus membayar harga makanan yang minimal U$30 per porsi), karena mungkin sudah tidak ada lagi ajang sosialisasi lain.

            Untuk para perempuan, jangan pernah sekali-sekali berfikir untuk tinggal atau berjalan-jalan sendirian di kota ini. Melangsir film dokumenter produksi BBC.TV yang berjudul Port Moresby: The world's most dangerous city to be a woman? (27/09/2018). Berkisah dengan gamblang, bagaimana lebih dari 70% wanita lokal yang ada di sana pernah mengalami pemerkosaan dan kekerasan fisik.

            Dan yang membuat hal ini lebih miris lagi adalah, bagaimana pengakuan yang keluar dari salah-seorang polisi yang ada di sana yang mengatakan: bahwa hal itu adalah hal lumrah yang biasa dilakukan oleh laki-laki New Guinea dalam kehidupan sehari-harinya.

            Dalam kurun waktu lima bulan saja (Januari- Mei 2018), polisi tersebut mengatakan telah ditemui 6000 kasus pemerkosaan terjadi. Dan itu hanya terbatas pada kasus-kasus yang sudah dilaporkan saja. Pantas saja jika The Economist pada 2003 memempatkan kota ini sebagai kota nomor wahid dalam urusan kota paling berbahaya untuk ditinggali di dunia, mengalahkan 129 kota berbahaya dan tak layak huni lain.



Penutup: Seringai serigala berbulu domba

            Port Moresby adalah kota “ajaib” dalam versinya sendiri. Tampilan luarnya sangat berbeda dengan jika dibandingkan dengan kota-kota tak layak huni lain. Misalnya Kabul dengan senarai teroris dan rentetan bom bunuh dirinya, ada kota-kota di Meksiko dengan kartel narkobanya, ataupun Lagos dengan kekacauan konflik mendagingnya, tetapi Port Moresby tidak menampilkan kekacauan serta konflik yang sevulgar itu.

            Menyitir laporan The Guardian dalam artikelnya yang berjudul Raskol Gangs rule world’s worst city (22/09/2004). Anda di sana akan menyaksikan tampilan kota yang “mentereng” dengan bangunan-bangunan nan megah. Dengan sebagian besar penduduk yang ramah dan murah senyum ketika bertemu orang asing . Kota di mana Anda akan bisa menemukan musik-musik santai Reggae Jamaica diputar keras-keras di mana-mana.

            Namun di sisi yang lain, Anda juga seperti akan dihadapkan dengan entitas lain dari kota ini; ini adalah kota yang dikuasai oleh para gang raskol. Di mana para bajingan itu mewariskan cerita-cerita kejam tentang perampokan bank dengan senapan mesin M-16, perampokan mobil oleh gerombolan bersenjata, hingga perkosaan massal terhadap penumpang wanita yang diseret turun langsung dari bus ditumpanginya.

            Kota di mana terdapat cerita tentang rumah orang-orang kaya di kawasan elite mentereng yang semuanya—dikelilingi oleh tembok beton tinggi dengan gulungan kawat berpisau di atasnya, plus masih dikawal satuan pengaman bersenjata lengkap. Dan tak ada seorang pun manusia berambut lurus dan berkulit putih yang berani menyusuri kota ini sendirian. Entah dengan berjalan kaki, ataupun naik kendaraan umum yang ada.

            Jadi bagaimana, Anda semakin tertantang untuk datang mengunjunginya?





Referensi bacaan:


http://agustinuswibowo.com/9939/port-moresby-18-agustus-2014-bertualang-di-kota-raskol/. Diakses pada tanggal 9 Februari 2019. Sekitar pukul 17.00.

https://www.theguardian.com/world/2004/sep/22/population.davidfickling. Diakses pada tanggal 10 Februari 2019. Sekitar pukul 21.00.





Referensi foto:

Theaustralian.com.au

Dailymail.co.uk




Senin, 17 Desember 2018

Whenyou know you're gonna die.


Dan ini lebih mirip seperti mimpi bagiku

Ketika aku bisa tidur telanjang di sampingmu

Di bekas rumah sempitmu itu

Persis seperti yang dillakukan oleh orang tua kita dulu

Atau orang tua dari orang tua kita dulu

Kehadiranmu lebih mirip secercah cahaya

Yang tiba-tiba saja membangunkanku

Menyadarkanku, bahwa aku masih hidup jadi bagian hidup

Di kehidupan ini

Senyummu, dan kedatanganmu yang tiba-tiba itu

Meninggalkan bekas,

Yang tak habis-habisnya kuganti dan kusalahpahami.




Sabtu, 15 Desember 2018

Ketika kawan dari masa lalu datang.


Seorang kawan baik dari masa lalu tiba-tiba saja datang ke Jogja tanpa sebab, mengajak bertemu, dan saya disuruh menemaninya untuk berkeliling jalan-jalan di Malioboro. Pertemuan kami berjalan baik seperti biasanya, penuh ngakak-an tolol dan diselilingi pisuhan di sana-sini.

 Kami sedang asik mengobrol tentang kisah-kisah indah yg telah lewat waktu itu di sana. Sebelum akhirnya ia tiba-tiba saja menyeloroh berkata, kata-kata yg sebenarnya tak terlalu enak didengar oleh telinga dan dirasa oleh hati seperti ini, “Kau, kawanku, kenapa? Kenapa masih seperti ini saja?” sambil tersenyum.

 “Maksudmu?”

 “Halah, sudahlah aku kenal kamu sudah lama, dan aku tahu kamu itu luar-dalam, mau sampai kapan kamu seperti ini? Mengutuki diri sendiri seperti orang tolol begini, sudah 3 tahun berlalu lho, sampai kapan kamu masih terus menyalahkan dirimu sendiri begini? Sampai kapan kau gadaikan kebahagianmu begini?”

“Mohon maaf, tapi saya sudah bahagia dengan begini, bahagia dengan kehidupan saya yang sekarang ini.”

“Omong-kosong keparat apalagi ini, hee? Udahlah, biarkan dirimu bahagia, karena toh dia juga telah bahagia dengan orang lain tho sekarang? Semua ini bukan salahmu, ia yang pergi dan memilih orang lain. Memang benar ia lah yang telah merubahmu seluruhnya, memperkenalkan dengan dunia yang kini begitu kau cintai? Tapi lihat lah kenyataannya sekarang, ia memilih pergi tho? Selain itu, biarkan juga ia semakin berbahagia, lepas dari semua beban rasa bersalah padamu,”

“Aku sudah tak ada rasa apa-apa lagi denganya, keparat. Sekarang pun aku juga sudah mulai menyukai dan mendekati beberapa orang gadis.”


“Hey, aku tahu kau. Yang kau lakukan sekarang ini lebih mirip yang dilakukan oleh para gigolo murahan itu. Menggadaikan diri untuk lepas dari rasa sepi dan kesedirianmu. Senyummu yang menyungging ketika bertemu gadis-gadis lain itu, tatapanmu, semua palsu. Kau hanya ingin mengobati rasa kesendirianmu dan kesepianmu, di sisi yang lain, kau bajingan-keparat! Tak mau membuka barang secuil pun hatimu pada mereka.”

“Aku sudah mulai membukanya, paling tidak aku sudah mulai membuka diri,”

“Tidak. Kau belum membuka diri. Kau hanya ingin menunjukan, membuktikan padanya bahwa kau masih hidup, masih survive. Dan lihat apa yang kau lakukan sekarang itu tak jauh berbeda seperti yang kau lakukan dulu ketika kau mengajakku bertemu waktu itu, setelah dia mengatakan telah menaruh hatinya pada orang lain itu. Kau sok tegar, tersenyum tolol lalu berkata, “aku baik-baik saja, lihat, aku tak menangis atau merasa sesak di dalam dada”, sekarang kulihat, kau masih saja tak jauh beda dengan yang dulu itu. Mau sampai kapan, Kawan?”

Mendengar kata-katanya yang bak halilintar yang menggelegar itu. aku diam. Sembari berkata dalam hati, “Bajingan keparat ini, sok tahu sekali tentang hidupku, Bajingan ini jangan-jangan ke Jogja cuma buat ngomong omong kosong keparat ini doang, tapi, tapi, tapi, apakah semua yang dikatakan oleh kawan dari masa kecil hingga remaja ini tadi memang benar adanya? Apakah aku masih setolol dan sedungu itu?” 


Jumat, 07 Desember 2018

Pesakitan Yang Menyenangkan


Langit gelap. Hujan tumpah. Datang bersama gemuruh petir yang berkilat-kilat. Saat itulah, Parjo keluar dari bilik isolasinya di sebuah tempat yang tak bernama. Berjalan lambat-lambat dengan tangan disilangkan ke belakang. Langkahnya gontai, dengan satu kaki yang diseret, berjalan ia menembusi derasnya air hujan yang mengguyur di luar sana bersama enam serdadu yang mengawal di depan, belakang, samping kanan dan kirinya.

Sesekali Parjo melihat ke depan melalui katub matanya yang sayu itu. Yang dari hari ke hari semakin tampak mengenaskan saja. Tampak dari matanya itu, jalan sempit berlumpur membujur berkelok-kelok di depan sana. Dengan samping kiri dan kanan berdiri dinding beton kokoh bewarna coklat-muram.

“Hey! Cepat sedikit jalannya tolol!,” bentak serdadu di sampingnya tiba-tiba.

“Cepat sedikit bisa kau jalannya bangsat?’ tungkas serdadu lain, sambil menendang punggung Parjo sekuat tenaga dari belakang.

Parjo Tersungkur, nyungsep ia ke lumpur becek tepat dua meter di depan langkah  kaki terakhirnya tadi. Sekarang yang terlihat hanyalah Keruh. Bekas lelehan air hujan yang menyapu rambut hitamnya, yang lalu turun kening, yang lalu turun ke pipi, hingga pada akhirnya jatuh pada tepi-tepian dagunya.

 Sekarang yang dilakukannya, sambil masih nyungsep di lumpur tanah tadi. Mulai dirasai ada rasa aneh dalam mulutnya. Semacam rasa anyir darah yang bercampur dengan air lumpur lumpur bekas mamah tanah, begitu hambar dan memuakkan.

Walaupun demikian, ada yang aneh dengan si pesakitan ini. Si Parjo. Ia seperti bergeming. Memang sakit ia, tapi tak tertunduk atau terkalahkan. Mirip sekali dengan penggambaran tokoh aku dalam puisi Invictus karya William Ernest Henley itu.

Dalam dirinya seperti ada kekuatan aneh yang muncul, kekuatan yang bahkan tak dimiliki oleh para serdadu tegap para pengawalnya itu. Ia seperti tembok kokoh yang tetap tegak berdiri menghadapi siksaan demi siksaan yang menghantam dirinya. Entah itu mulai dari di bilik isolasinya, ataupun yang sampai sekarang seperti dilakukan oleh serdadu pengawalnya tapi.

Saat mencoba bangun setelah ditendang dan nyungsep di tanah itu. Tampak dari dalam matanya yang hitam sayu itu. Walaupun kuyu tapi masih tetap memancarkan rona hidup dan kehidupan. Bahkan, kadang-kadang ia masih bisa tersenyum sedikit sembari mendongakkan kepalanya ke atas menatap langit-langit. “Inilah hidup! Inilah takdir hidup bagi orang-orang sepertiku!”, gumamnya dalam hati.

Setelahnya, ia kembali menatap ke tanah yang ada di bawahnya tapi sembari mengumpulkan sisa-sisa  tenaganya terakhirnya yang ada: mencoba bangkit kembali, berdiri lagi, namun gagal, tersungkur lagi ia ke tanah. Sekarang yang dilihatnya hanyalah gelap. Ya. Gelap yang pekat.

*****

Dengan muka, badan  dan kaki masih tertelungkup di tanah. Mulai dirasainya dingin yang tak berperi di sekujur tubuhnya. Di kiri dan kanan, dilihatnya hanya terpampang gambaran mengenai tembok-tembok beton nan kokoh lengkap dengan sebuah lambu bohlam warna merah termeram di tengahnya.

Sambil menggigil setengah sadar, mulai berkelebatan ingatan dari masa lalunya. Saat ia masih hidup tentram di desa sebagai petani dulu. Yang tiap pagi selepas sembahyang subuh ia kunjungi sawahnya dengan tanpa putus-putus. Yang sebelum surya terbit ia sudah berada disana, barangkali hanya sekedar untuk memeriksa bagaimana jalannya saluran air, atau mengusiri burung-burung pipit nakal yang numpang sarapan pagi di sawahnya itu. 

Sumber gambar: Riauone.com


Mulai bermunculan pula ingatan tentang masa bocahnya dulu, saat ia masih bebas bermain dengan riangnya kecek di Kali Bengawan Solo. Bebas melompat, jumpalitan dan berenang kesana-kemari. Layaknya anak kalong di Jalanan ibukota  yag lepas dari induk semangnya. Bebas, lepas dan tanpa beban. Waktu itu, yang ada hanyalah tentang hari ini, dan esok adalah mau kemana lagi kita berpetualang dan bermain. Ah.. waktu.

********,

            Parjo membuka matanya sedikit demi sedikit. Buram. Makin lama makin jelas keburaman itu. Gelap, samar dan pengap. Itulah kesan pertama Parjo akan ruangan ini. Hanya diterangi sebatang lilin harga 2 perak di pojok sana. Lengkap dengan lantai cor beceknya. Parjo mulai meraba-raba kembali tubuhnya, ada beberapa bagian yang serasa mati rasa, dengan bagian lain terasa nyeri.

“Kau anggota Partai Komunis kan, ayoh ngaku?” tanya serdadu yang duduk di depannya

Parjo masih bergeming. Samar. Mencoba menguasai dirinya kembali sambil sedikit mendongakkan kepala menatap wajah si penanya

“Ini lihat buktinya! Ini bukti dari keanggotaan Partai Komunismu! Hayoh ngaku kau! Masih mau mengelak apa lagi kau?! ” tambah si serdadu sambil menunjukan ke surat penyataan keanggotaan Partai

Parjo mencoba melihat surat pernyataan itu dalam remang. Sembari mencoba membacanya secara terbata-bata. Namun, setelah itu pikirannya terbang entah kemana. Mulai diingat-ingat kembali rentetan peristiwa yang menimpanya sebulan terakhir ini. Yang diawali dengan datangnya berita tentang kudeta yang telah dilakukan oleh Partai Komunis di Jakarta pada tanggal 30 September lalu. Lalu berita tentang terbunuhnya banyak Jendral Angkatan Darat, dimana tempat pastinya itu. Parjo tak tahu.  

Parjo sendiri sebenarnya kurang terlalu paham mengenai apa isi dan maksud berita itu, dan  apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Biarlah itu menjadi urusan orang-orang besar atas sana, kita orang kecil ini hanya bisa ngikut saja,” katanya sambil membelai lembut rambut sang Istri yang berada di pangkuannya.

Setelahnya, Parjo masih beraktivitas seperti biasa. Bangun pukul empat pagi, lalu berak di kali. Mengambil air wudhu dan sembahyang subuh lagi, setelahnya hidupnya hanya dihabiskan di sawah. Terus seperti itu sampai hari itu terjadi; hari dimana desa Parjo yang tenang di utara Bengawan Solo digegerkan oleh datangannya satu kompi serdadu bersenjata lengkap.

Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung menggeledah setiap rumah yang ada. Kaya, miskin, jelek, mewah atau reot, tak peduli mereka. “Desa ini adalah sarang komunis!,” Kata Sang Komandan. “Barang siapa tak melaporkan siapa saja yang menjadi anggota partai terkutuk itu. Dan jika ada yang terbukti menyembunyikan identitas mereka, harta, rumah bahkan jasadnya akan ikut dibakar!”. 

Hari itu kacau, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Langit  merekah merah, tetapi tidak seperti biasa, ada yang hilang sore ini. Seperti hilangnya suara adzan magrib setelahnya. Masyarakat desa pontang-panting, saling tuduh dan curiga satu sama lain. Paiman tetangga parjo yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Parjo, rumahnya dibakar, Ia, anak dan istrinya disembelih di kebun belakang rumah. Ada yang melapor bahwa mereka adalah anggota dan simpatisan Partai Komunis. Hal serupa dialami Ilham, bocah pendiam yang sedikit dungu itu. Ia ditembak di depan mata orang tuanya sendiri, lalu mayatnya dilempar ke Kali Bengawan Solo. Hanyut, lalu lenyap.

Waktu kejadian itu, Parjo baru pulang dari sawahnya. Sehabis mandi di kali, ia mulai berjalan lambat-lambat dengan cangkul dipundak. Setelah menaiki bukit kecil di atas kali, ia terkejut. Desa tak seperti biasanya, ada kobaran api dimana-mana, lolongan bayi dan para wanita yang menangis bersaing dengan lolongan anjing; saling bersautan.

Tanpa berfikir panjang, ia langsung lari menuju rumahnya, untuk melihat keadaan istri dan anak tercintanya. Tetapi sayang, mereka telah lenyap, hilang ditelan buramnya petang. Rumahnya kocar-kacir, barang-barangnya berserakan. Tak lama setelahnya, seperti ada benda keras menghantam tengkuknya dari belakang, ia terjatuh. Pingsan. Setelahnya, saat tersadar tiba-tiba ia sudah berada di sel isolasinya itu.

“Woy.. Bajingan tak tahu diuntung! Jawab pertanyaanku!” bentak sang serdadu sambil menghantam pelipis parjo dengan popor senjata di tangannya.

Tersadar Parjo dari lamunannya. Tergagap ia. Muncrat darah dari pelipisnya, sambil menggigil ia menjawab.

“Bukan tuan, demi Allah bukan, Partai Komunis itu rupanya seperti apa saja, aku tak tahu”

“Lha ini, ini bukti keanggotaan partaimu”

“Demi Allah tuan, itu bukan aku, bukan juga tulisan dan tanda tanganku” jawab Parjo lagi

“Ok. Jika kamu masih terus mengelak dan tak mau mengaku!.” tungkas Sang Serdadu

Parjo hanya terseyum. Teduh. Ia telah siap menghadapi apa yang akan segera dihadapinya di depan sana.

*****

Putih. Putih. Dan putih. “Apakah ini yang dinamakan alam baka?,” kata Parjo pada dirinya sendiri. “Kalau memang iya, mengapa bisa sekosong dan seputih ini?,” Ia tak merasakan apapun lagi sekarang, semua kesakitannya hilang, beban di pundaknya lenyap. “Di mana orang-orang?” “Di mana para malaikat yang menanyaiku?.” Ia tak mampu lagi merasakan mana kaki, mana tangan, mana badan dan mana kepala. Yang ada hanya putih dan kekosongan. Aneh. Hatinya bolong. Ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terakhir kali terjadi kepadanya. Lupa. Ia lupa tetapi kadang-kadang teringat. Iya ingat tetapi terkadang juga terlupa. Aneh.

Sekian.