Sejarawan
Perancis, Dennys Lombard pernah mengatakan, di Nusantara, setidaknya sampai paruh
terakhir abad ke-15 terdapat enam satuan kawasan perniagaan-laut. Keenam kawasan-laut
tersebut terbagi sebagai berikut: (1) Selat Malaka, (2) Selat Sunda, (3) Laut
Jawa, (4) Bali dan pulau-pulau sekitarnya, (5) Laut Sulawesi, serta yang
terakhir (6) Laut Maluku. Keenamnya, bisa terbentuk hingga sedemikian rupa karena
dipengaruhi oleh dua sebab utama. Pertama,
daerah tersebut merupakan tempat di mana jalur perniagaan menuju Pulau Rempah
berada. Kedua, sebagai tempat di mana persaingan dagang dan perebutan hegemoni kekuasaan
sedang berlangsung (Lombard, 1987: 3-12).
Ia juga menambahkan, kala itu aktor dari
luar yang turut bermain dalam urusan perdagangan rempah ini pun masih terbatas
dari kalangan orang-orang Timur Asing, entah itu dari golongan pedagang Arab,
India ataupun Cina.
Dalam bukunya, Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, Alex John
Ulaen menjelaskan, sebagai daerah yang masuk pada kawasan perniagaan Laut
Sulawesi, peran Nusa Utara (Wilayah Kepulauan Sangihe dan Talaud sekarang) adalah
sebagai tempat transit penting dari dua jalur perniagaan utama menuju Pulau Rempah.
Yakni, bagi para pedagang yang datang berlayar dari arah barat, Malaka sana,
yang biasanya akan berlayar menuju Pulau Rempah dengan menyusuri laut di bagian
utara Pulau Borneo, lalu berbelok ke arah timur menuju Laut Sulu, transit di Kepulauan
Nusa Utara ini, baru setelahnya pergi ke Pulau Rempah (Wilayah Maluku Utara
sekarang). Sedangkan dalam jalur pelayaran lain, adalah yang biasa dilalui oleh
para pedangan dari daratan Cina yang berlayar melalui wilayah barat Kepulauan Filipina,
menuju ke Laut Sulu, transit sebentar di Kepulauan Nusa Utara, baru setelahnya
pergi manuju ke Pulau Rempah (hlm. 37).
Dua jalur pelayaran inilah yang nantinya
akan diikuti oleh Bangsa-Bangsa Barat ketika mereka hendak menuju ke Pulau
Rempah pada awal-awal kedatangannya di Nusantara.
Catatan-catatan dari
Barat
Catatan Barat pertama mengenai keberadaan
gugusan kepulauan kecil di utara Sulawesi ini, datang dari seorang penjelajah Spanyol bernama
Ferdinand Magellans dalam perjalanan terkenalnya mengelilingi bumi. Sebagaimana
yang dikutip oleh Ulaen dari catatan Pribadi Antonio Pigafetta (salah satu juru
tulis dalam rombongan Magellan tersebut) yang tertanggal, 28 Oktober 1521 menyebutkan
sebagai berikut:
“Tanggal 28 Oktober 1521, berlayar ke
selatan-tenggara, kami melewati delapan buah pulau, sebagian dihuni dan
sebagian tidak berpenduduk. Mereka menamaninya Cheava (Marore?), Cavio (kawio),
Cabiao (Kamboleng), Camanuca (Mamanuk/matutuang), Cabaluzao (Cawaluso), Cheai
(Dumarehe). Lipan (Lipaeng) dan Nusa (Nusa). Pulau Sanghir (Sangihe-Besar)
merupakan pulau terbesar di gugusan Kepulauan Sangihe. Di sana terdapat empat
raja, yakni raja matandatu, raja Laga, raja Bapti, dan raja Parabu.”
Penggambaran yang
hampir serupa juga diperlihatkan oleh Pendeta Brillman, yang dalam bukunya, Onze zendingvelden: De zending op de Sangi –
en Talaud – eilanden door(1938), menyebutkan, “Jika kita memandang ke arah
daratannya, di sana-sini timbul bukit-bukit yang menjulang ke awan, lereng-lereng
bersahutan ribuan, sekali lagi ribuan pohon kelapa dan kopra, di mana-mana di
seluruh Hindia ini tak ada bandingannya.” (hlm. 2).
Barat Mulai Menancapkan Hegemoninya
Letak geografis yang strategis serta
potensi komoditi ekspor yang menjanjikan, membuat tiga kekuatan Barat utama
(Belanda, Portugis, dan Spanyol) bersaing mati-matian untuk menancapkan
pengaruh di gugusan kepulauan ini (dari mulai pertengahan abad ke-16 sampai
akhir abad ke-18).
Seperti biasa, upaya pertama yang mereka
lakukan untuk mencapai tujuannya ini adalah dengan cara membangun hubungan baik
dengan para penguasa lokal yang ada. Awalnya, dengan pendekatan agama melalui
misi “pemberadaban” yang dibawanya. Lalu setelahnya akan diikuti dengan
“bumbu-bumbu pemanis” berupa janji akan membantu kekuatan militer dari penguasa
lokal tersebut untuk menghadapi kekuatan lokal lain yang dianggapnya menjadi
pengganggu/pesaing. Atau dalam beberapa kasus lain, juga ada dari para penguasa
lokal tersebut yang justru mengundang kekuatan Barat ini untuk datang ke
daerahnya (Invited Colonialisme), dengan
tujuan pasti: mencari perlindungan dari serangan kekuatan lokal lain yang
dianggap sebagai musuh/pengancam.
Sumber gambar: digital collection Leiden University.nl
Contoh paling pas untuk penggambaran
kasus ini adalah, yang Portugis lakukan pada 1563, yang mana pada tahun
tersebut mereka mengirimkan seorang Pastor Jesuitnya yang bernama Diego de
Magelhaes. Namun ternyata dalam misi “pemberadaban” yang dibawanya ini. Sang
pastor ternyata tidak “dilepas” sendiri, melainkan juga datang menyertainya
seorang Kapten Portugis yang bernama Goncolo Pereyra Marramaque dengan lebih dari
seratus anak buah di belakangnya menuju ke wilayah ini. Tujuannya sudah barang tentu
selain untuk membawa misi “pemberadaban”, ternyata mereka juga diminta oleh
penguasa lokal yang ada di sana, yakni Raja Siau untuk mengusir pengaruh dari
Kerajaan Ternate di wilayah kepulauan tersebut (Ulaen, 2016: 65-66).
Menjadi daerah periferi
Hal penting yang menjadi alasan
pokok terjadinya transformasi di daerah ini; dari daerah yang sebelumnya
menjadi lintasan perniagaan utama ke daerah periferi adalah, dengan mulai
mapannya dua “entitas politik” kolonial di sekitar daerah ini. Hindia-Belanda
yang mulai mantap mengontrol wilayah Nusantara, dan kekuasaan Spanyol di
wilayah kupulauan Filipina. Menguatnya dua entitas politik kolonial ini, mau
tak mau juga membuka babak baru dalam sistem perniagaan yang ada di wilayah laut
Sulewesi dan laut Maluku. Di mana dalam hal ini, justru wilayah gugusan
kepulauan menjadi daerah tapal batas bagi dua entitas politik kolonial tersebut
(Ulaen, 2016: 175-176).
Kondisi ini semakin diperparah dengan
semakin berbiaknya pratik-praktik penjarahan bajak laut di daerah Sulu (Sulu
Zone), wilayah bagian barat dari kepulauan ini. James Francis Waren dalam
bukunya The Sulu Zone (1768-1898): The
Dynamics of External Trade, Slavery, and Ettnicity in The Transformation of a
Southeast Asian Maritime State (1981), mencatat. Pada kurun pertengahan
abad ke-18 sampai akhir abad ke-19, wilayah laut Sulu menjadi wilayah yang
paling berbahaya untuk dilintasi kapal-kapal pedagang yang hendak menuju Pulau
Rempah. Selain merampas barang dagangan, para bajak laut ini, biasanya juga
menyasar para awak kapalnya untuk dijual menjadi budak-belian di pasar budak
yang ada pada waktu itu (hlm. 149-152).
Oleh karena itu, untuk menghindari
para bajak laut itu, banyak dari pedagang yang mengalihkan jalur pelayarannya
ke sisi selatan, melalui laut Jawa lalu ke laut Sulawesi bagian selatan, baru
setelahnya berbelok ke arah utara menuju ke Pulau Rempah.
Dengan keterasingan geo-politik seperti
itu. Mau tak mau berdampak pada merosotnya pendapatan di bidang ekonomi bagi penduduk
di wilayah ini. Utamanya, yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan pokok,
yakni, masalah Sandang dan pangan. Jika sebelumnya terjadi
pertukaran yang masif berbagai macam komoditi seperti, minyak kelapa dengan beras
yang datang dari Jawa, atau pun kopra dengan tekstil dari Cina, kini hal itu
tak terjadi lagi.
Kini penduduk dan wilayah kepulauan
ini benar-benar menjadi terasing dan dilupakan. Bahkan kondisi ini tak berubah
setelah negara kita, Indonesia merdeka pada 1945. Dan bukankah, diakui atau
tidak, wilayah geo-politik negeri kita ini adalah warisan atau blue-print dari wilayah Hindia-Belanda
dulu. Di mana menempatkan wilayah gugusan kepulauan ini menjadi batas paling
utaranya yang berbatasan langsung dengan laut Filipina.
Referensi:
Alex John Ulaen.
2016. Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke
Daerah Perbatasan. Yogayakarta:
Ombak.
D. Brillman. 2000.
Kabar Baik di Bibir Pasifik. Jakarta:
Sinar Harapan. Diterjemahkan dari Bahasa
Belanda, “Onze zendingsvelden: De zending
op de Sangi-en Talaud- eilanden door”.
James Francis
Waren. 1981. The Sulu Zone (1768-1898):
The Dynamics of External Trade, Slavery,
and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Ken
Ridge, Singapore: Singapore University Press.
Dennys Lombard.
1987. Regions And Regional Developments
in The Malay-Indonesian World. Otto
Harrassowitz-Wiesbaden.