Jumat, 23 Maret 2018

Perjalanan penaklukan diri


Puncak Merbabu, 24 Mei 2017.

            Pagi masih sunyi. Ayam-ayam hutan masih enggan untuk berkokok. Gerombolan lutung pun masih pulas mengorok dalam pelukan rindang ranting pepohonan. Sedang sang surya masih terbenam—jauh dalam tidur panjangnya. Aku mulai menguasai diri kembali, menapakkan kaki setapak demi setapak, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal--menyusuri jalan licin berdebu menuju Puncak Klenteng Songo Merbabu. 

            Angin gunung  berhembus kencang dari puncak sana menuju ke lembah keabadiannya. Kurasai tubuh ini semakin dingin; menggigil. Aliran nafas mulai tersenggal-sengal, harap maklum tuan-tuan, oksigen dini hari memang begitu tipisnya, apalagi di puncak gunung seperti ini. Tanpa terasa keringat berdesir deras masuk-merasuk ke ujung-ujung ulu hati. Dingin, capek dan kegelapan. tiga kata yang membuat otak warasku berkata pada diri “Sudah cukup! Tubuhmu tak sanggup lagi.” Katanya. Tapi itu selamanya hanyalah kata si otak waras bukan si hati sanubari. Si hati sanubari lalu berkata “Tidak, selamanya tidak, aku sudah muak kalah! sudah muak jadi pecundang! Tak akan pernah! Tak akan pernah lagi selamanya!”.



            Sementara itu, puncak buritan masih terlalu jauh untuk dilihat, baru terlihat seonggok kecil dalam remangnya. “Kira-kira masih barang satu-dua jam lagi baru sampai ke puncak” Kata seorang teman di sampingku. Dan jauh di belakang-bawah sana keempat temanku lain masih tersenggal-senggal nafasnya, terseok-seok jalannya, dan pada kaku urat-urat persendiannya. Banyak dari mereka yang berhenti—tak mau melanjutkan perjalanan pendakiannya.

            Melihat itu hatiku semakin  terpecut “Aku tak akan pernah menyerah, selamanya tak akan pernah!” kataku dalam hati. “Karena bagiku mendaki bukan hanya soal kekuatan fisik-badani semata, mendaki adalah latihan olah jiwa. Setiap pendaki adalah petarung, paling tidak terhadap dirinya sendiri, terhadap egonya sendiri, karena yang aku, kami dan kita lawan dan taklukan selama pendakian bukanlah siapa-siapa, pun juga bukan apa-apa, yang kita lawan adalah diri kita sendiri, ketakutan dalam hati kita sendiri. Anak-ruh dari ego kita sendiri.”

Senin, 05 Maret 2018

Kesan dan ulasan mengenai buku “In the Name of Identity” Karya Amin Maalouf

            Amin Maalouf dalam bukunya “In the name of Identity”, berusaha mengajukan semacam “perenungan bersama”. Bagaimana suatu ‘identitas’ bisa terbentuk dalam masyarakat. Tak hanya berhenti pada persoalan deskriftif naratif belaka, ia juga menyelami persoalan mengenai identitas ini jauh  ke dasar akarnya. Layaknya seorang Antropolog, ia melihat sekaligus mempertimbangkan banyak aspek dari berbagai hal sebelum masuk pada sebuah kesimpulan, yang selanjutnya mencari sebab-musabab apa yang mempengaruhi setiap fenomena identitas ini.
Argumen demi argumen yang diajukannya ini, memunculkan berbagai pertanyaan di benak kita, seperti: Bagaimana suatu identitas bisa terbentuk? Gagasan apa yang mendasarinya? Landscap serta ruang seperti apa yang menjadi tempat berkembangnya? Serta struktur masyarakat seperti apa yang “mengamini” identitas ini bisa terbentuk di masyarakat?

Sumber foto: www.Amazon.com

            Hal lain yang semakin membuat buku ini menarik, paling tidak bagi saya pribadi. Ialah saat ia memaparkan segala macam gejala Antropologi yang telah disebutkan di atas tadi, dalam konteks historisnya. Tak hanya berhenti di sana, ia juga menjelaskan bahwa suatu fenomena yang ada, utamanya tentang “identitas” ini juga merupakan produk sejarah, yang sudah berproses bertahun-tahun lamanya. Yang tidak serta merta bimsalabim langsung saklek jadi seperti itu. identitas; ia adalah produk sejarah, produk waktu, di mana di dalamnya terdapat proses yang panjang dan berbelit-belit juga berkesinambungan dari waktu ke waktu. Yang tentu saja tidak bisa disimpulkan dalam generalisasi dangkal atas dasar ‘benar’ dan ‘salah’ semata.

            Terakhir, fokus pembahasan dalam bukunya ini tidak terfokus pada tataran kesimpulan, ia terfokus pada tataran “proses”. Yang mana suatu fenomena sosial yang ada akan  terus berubah dari waktu ke waktu. Ia tidak menyuguhkan kesimpulan mengenai masalah ‘identitas’ ini, tetapi menghantarkan semacam bahan “perenungan” bersama bagi para pembacanya. Yang tentu saja kita sebagai pembaca, bisa dan boleh dengan bebas mengintrepretasikan segala argumen yang ia sajikan menurut pandangan kita sebagai pembaca, menurut tataran pengalaman dan falsafah hidup kita masing-masing.