Sabtu, 25 Agustus 2018

Suara-Suara dari Mereka yang Selalu Kalah dan Dikalahkan

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara dengan salah seorang tunawisma yang ada di sekitar kampus saya di kawasan Bulaksumur. Selain untuk menunaikan tugas salah satu mata kuliah wajib, momentum ini juga sekaligus saya gunakan sebagai pengobat rasa penasaran saya yang menggebu dalam hati; di mana selalu muncul dari sana semacam pertanyaan dan keingintahuan lebih tentang bagaimana sebenarnya kehidupan mereka di jalanan, serta problematika hidup seperti apa yang sedang mereka hadapi.


Maka dari itu, tak menunggu waktu lama ketika momentum itu datang. Berangkatlah saya menemui salah seorang dari mereka, pada suatu sore hari yang rindang, dingin sekaligus  tenang. Cuplikan wawancara dan intisari dari bincang sore itu kira-kira begini:

Waktu itu, saya lihat seorang lelaki tua sedang duduk-termeram di tepi jalan.. Tak digubrisnya hingar-bingar suara kendaraan di sampingnya. Ia masih juga termeram, menatap motor yang berlalu-lalang di depannya. Bersama dinginnya angin sore hari. Bersama gerobak kesayangannya.

Setelah saya hampiri dan ajak berkenalan lebih jauh, ternyata lelaki tua itu bernama Pak Dadang. Usianya kini sudah tak lagi muda. Hampir menginjak setengah abad, katanya. Ia berasal dari Kabupaten Batu Sangkar, Sumatra Barat. Hampir setiap sore, ia duduk-beristirahat di sini, di trotoar jalan di sekitar Kampus Kerakyatan ini.

Bagaimana ia bisa sampai ke sini? Jawa dan Yogyakarta ini? Ia bercerita, sebenarnya niat awalnya pergi ke Jawa adalah untuk bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik konveksi yang berada di Bandung sana. Namun ternyata nasib berkata lain. Karena sakit yang dideritanya, ia harus dipecat dari pekerjaannya di Bandung itu, lalu membawanya mengikuti jejak teman-temannya yang lain sampai ke tanah para raja ini: Yogyakarta.

 “Sakit ini, Mas,” katanya “Sangat mengganggu saya, soalnya sedikit-sedikit kebelet kencing, sedikit-sedikit kebelet kencing, bahkan kadang-kadang semenit bisa tiga sampai empat kali”.
Karena sakitnya inilah Pak Dadang tersingkir dari pekerjaannya di Bandung itu. Dan sekarang, di sinilah ia, bekerja sebagai pemulung sampah di sekitaran Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Selain bercerita mengenai sakit yang diderita serta jatuh bangun pekerjaan yang pernah dijalaninya. Ia juga bercerita bahwa semenjak ia merasakan sakit tersebut, belum pernah sekalipun mencoba memeriksakan penyakitnya itu ke dokter atau pun tenaga medis lain yang ada. “Belum Mas, takut kalau biayanya mahal. Mau bayar pakai apa nanti saya kalau mahal biayanya.” katanya.

Persoalan takut berobat karena mahalnya biaya ini memang bukan hanya persoalan Pak Dadang seorang, orang-orang lain seprofesinya di jalanan pun banyak yang mengalami ketakutan yang sama. Misalnya saja Pak Agus, teman seperjuangannya dalam mengumpulkan barang-barang bekas.

Ia bercerita juga tidak berani untuk memeriksakan sakit perut yang sudah dideritanya selama kurang lebih sudah dua tahun belakangan ini kepada dokter ataupun tenaga medis lain. Alasan yang diungkapkan Pak Agus tak jauh beda dengan Pak Dadang, yakni mengenai persoalan takut dengan mahalnya biaya.
“Jadi kalau lagi kambuh gimana itu Pak sakitnya?” tanya saya. “Ya ditahan saja, Mas. Kalau tidak, ya beli obat Promag itu di toko, sudah itu saja,” jawab Pak Agus.

Persoalan mengenai ketakutan dalam mengakses tenaga kesehatan ini harusnya mendapat perhatian lebih dan khusus, tak hanya oleh pemerintah, melainkan juga lembaga lain yang terkait dan bergerak menangani persoalan ini.

Bukankah, dana kesehatan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani masalah ini sudah cukup banyak? Lalu kemana mereka perginya? Kalau bukan untuk orang-orang seperti Pak Dadang dan Pak Agus tadi? Mengapa yang terjadi, mereka justru ketakutan untuk sekedar mengecek sakit apa yang dideritanya? Dan justru lebih memilih memendam dalam-dalam sakit yang dideritanya itu?

Dan kemana perginya kartu-kartu “sakti” yang dikeluarkan pemerintah itu? Apa hanya karena mereka tak memiliki Kartu Keluarga, KTP, atau rumah, mereka jadi serta merta tak berhak mendapatkan layanan kesehatan itu? Tak pantaskah mereka mendapatkan haknya jadi warga negara di negeri kita tercinta ini?
Mengenai persoalan ini, “keseriusan” mungkin adalah satu kata penting yang patut dipertanyakan mengenai kehadiran pemerintah dan lembaga terkait dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Bagaimana mungkin, suatu program yang uangnya tak sedikit keluar dari uang rakyat itu, justru tak pernah sampai ke pada orang-orang yang paling membutuhkannya; raktyat seperti Pak Dadang dan Pak Agus tadi.

 “Jadi, Bapak, bagaimana kesehariannya kalau harus nyari barang bekas dan membawa gerobak dengan sakit yang Bapak derita ini?” tanya saya lebih jauh.
“Kan kalau jadi pemulung gini, bebas ya, Mas, ya. Nggak ada yang ngatur-ngatur. Jadi kalau kebelet kencing, ya tinggal kencing di samping gerobak atau tinggal dimasukin ke botol.” jawabnya singkat.

Sumber foto: Liputan6.com

 Selanjutnya, ia juga menambahkan bahwa, setiap harinya ia akan mencari barang-barang bekas buruannya itu mulai dari sekitar Jalan Kaliurang km nol sampai Jalan kaliurang km sepuluh sana. Berhenti dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu toko ke toko yang lain, dan dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan satu tujuan pasti: mendapatkan barang bekas sebanyak-banyaknya untuk bekal makan hari ini dan esok pagi.

Sore harinya setelah hampir seharian berkeliling mencari barang bekas, biasanya ia akan langsung menjualnya ke para pengepul yang ada di daerah Jalan Monjali atau dekat Hartono Mall sana.
“Terus, Pak. Bapak biasanya sehari dapat penghasilan berapa? Dari hasil menjual barang-barang bekas ini?” tanya saya lagi.

Ia menjawab bahwa penghasilan sehari-harinya tak menentu. Tergantung pada harga pasaran barang bekas yang ada, serta banyaknya barang bekas yang berhasil diperolehnya. Harga satuan dari setiap barang-barang bekas yang didapatkannya itu sendiri bervariasi, ada yang Rp.3000 per/kilo untuk segala macam yang berbentuk besi-besian, Rp. 2000-an untuk yang berbentuk alumunium dan atum, serta Rp. 2500-an untuk sampah kertas dan plastik, seperti botol-botol aqua, ataupun kertas bekas sak semen.

            Tak lupa, ia juga bercerita, bahwa sebenarnya telah beberapa kali mendapat bantuan dari pemerintah ataupun dinas terkait yang mengurusi masalah tentang kesejahteraan orang-orang seperti dirinya. Akan tetapi, bantuan yang diperolehnya itu dirasainya bukan sebagai bantuan yang tulus dan ikhlas berasal dari dalam hati.

            Sering kali bersama bantuan-bantuan tersebut, ia harus “mengemis” terlebih dahulu, menghamba kepada si pemberi bantuan dengan jalan harus menjalani semacam “karantina” khusus selama beberapa bulan—bersama orang-orang yang tak disukainya—para preman yang telah memeras dan menyiksanya di Jalanan.

 “Selain itu, Mas. Orang-orang dari dinas sosial itu pinter, duit bantuan yang seharusnya buat kami itu juga dimakan, dipotong-potongnya sedimikian rupa, sehingga buat makan kami saja press hampir-hampir tak cukup, jadi kalau ada apa-apa harus berhubungan dengan mereka kami itu males.” Imbuhnya lagi.

Setelah mendengar keluh-kesah dari Pak Dadang yang satu ini, masalah lain muncul; juga tak kalah serius dengan masalah yang muncul pertama tadi, yakni terletak pada perencanaan program yang dijalankan pemerintah atau dinas sosial terkait tersebut.

Bagaimana tidak, mereka “orang-orang atas” itu biasanya lupa, bahwa dinamika yang terjadi di lapangan sangatlah kompleks, dan tidak bisa digenerallisir secara dangkal begitu saja. Salah satu contohnya adalah apa yang diceritakan Pak Dadang tadi, pencampur-adukan selama karantina;  antara para tuna wisma dengan para preman jalanan, adalah sebuah kesalahan fatal yang tak boleh terulang dilakukan. Bukannya membantu mereka, “orang-orang atas” itu terkadang justru memasukan si pesakitan ini ke dalam jurang pesakitan yang lebih dalam lagi.

Setelahnya, untuk selingan wawancara yang sudah sejak tadi mulai beranjak serius dan “memanas”. Saya mencoba bertanya-tanya tentang hal lain, misalnya saja tentang tulisan-tulisan tangan yang tertulis di kiri dan kanan badan gerobaknya ini.

“Pak, ini di gerobaknya yang nulis tulisan-tulisan ini siapa ya, Pak?”
“Oh, tulisan-tulisan ini, saya sendiri, Mas,”
“Terus, maksud bunyi tulisan yang ini apa, Pak? “Kulit dan tulangku sekarang sudah jauh lebih keras dari pada benda keras yang ada di manapun juga.”
“Ya itu cuma semacam curhatan hati saya aja, Mas. Curhatan pada mereka itu; para preman sama kelompok-kelompok pengamen yang sering mengganggu saya itu, yang suka memukul, memeras dan sering meminta uang pada saya itu,”

Ditambahkan juga olehnya, setiap kali para preman itu datang dan saat itu Pak Dadang sedang tidak memiliki uang seperser pun. Mereka biasanya akan terus memukuli dan menendanginya sesuka hati mereka.
“Begitulah, Mas. Kehidupan di jalanan ini, banyak sekali ujian dan orang-orang jahatnya.” Tambahnya lagi.

Akhirnya, sampailah saya pada puncak sekaligus akhir dari wawancara saya dengannya sore ini. Sebelum berpamitan pulang, saya meminta nasihat kepadanya. Sebagai orang yang ‘katanya’ muda dan terpelajar ini.

“Pak, tolong nasihati saya, Pak..,” Kata saya memohon sebelum berpamitan.
“Nasihat apa ya, Mas? Masnya agamanya apa kalau boleh tahu?” jawabnya agak kebingungan.
“Islam, Pak.” Jawab saya singkat.
“Alhamdulilah kalau gitu, ya kita ya, Mas, ya, kita sebagai orang Islam sekarang musti hati-hati. Apalagi dengan mulut kita ini. Jangan suka nuduh-nuduh kafir ke orang lain ya, Mas, sudah gitu banyak berita yang nggak bener yang disebar kemana-mana sekarang ini. Ya, Masnya, harus hati-hati pokoknya, sudah itu saja nasihat dari saya.”

Mendengar perkataan sekaligus nasihatnya yang terakhir tadi, hati saya mendadak seperti tersambar petir. Maaf, orang dengan pekerjaan dan tingkat pendidikan seperti beliau saja masih tahu bahwa “mengkafirkan” orang itu bukan perbuatan yang baik; bahwa menyebar fitnah atau berita bohong itu adalah suatu dosa dan kebiadaban besar. Tapi kenapa, kenapa masih saja banyak orang-orang di luar sana, yang katanya lebih bermoral dan berpendidikan justru tak mampu memahaminya, tak mampu melakukannya. Entahlah.

Keselamatan, kesehatan, dan ketentraman hati, semoga selalu tercurah padanya, pada orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya; orang-orang kalah yang selalu dibuat kalah oleh laku dan pertaruhan kehidupan.