Beberapa
waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara dengan
salah seorang tunawisma yang ada di sekitar kampus saya di kawasan Bulaksumur.
Selain untuk menunaikan tugas salah satu mata kuliah wajib, momentum ini juga
sekaligus saya gunakan sebagai pengobat rasa penasaran saya yang menggebu dalam
hati; di mana selalu muncul dari sana semacam pertanyaan dan keingintahuan
lebih tentang bagaimana sebenarnya kehidupan mereka di jalanan, serta
problematika hidup seperti apa yang sedang mereka hadapi.
Maka
dari itu, tak menunggu waktu lama ketika momentum itu datang. Berangkatlah saya
menemui salah seorang dari mereka, pada suatu sore hari yang rindang, dingin
sekaligus tenang. Cuplikan wawancara dan
intisari dari bincang sore itu kira-kira begini:
Waktu
itu, saya lihat seorang lelaki tua sedang duduk-termeram di tepi jalan.. Tak digubrisnya
hingar-bingar suara kendaraan di sampingnya. Ia masih juga termeram, menatap
motor yang berlalu-lalang di depannya. Bersama dinginnya angin sore hari. Bersama
gerobak kesayangannya.
Setelah
saya hampiri dan ajak berkenalan lebih jauh, ternyata lelaki tua itu bernama
Pak Dadang. Usianya kini sudah tak lagi muda. Hampir menginjak setengah abad,
katanya. Ia berasal dari Kabupaten Batu Sangkar, Sumatra Barat. Hampir setiap
sore, ia duduk-beristirahat di sini, di trotoar jalan di sekitar Kampus Kerakyatan
ini.
Bagaimana
ia bisa sampai ke sini? Jawa dan Yogyakarta ini? Ia bercerita, sebenarnya niat
awalnya pergi ke Jawa adalah untuk bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik
konveksi yang berada di Bandung sana. Namun ternyata nasib berkata lain. Karena
sakit yang dideritanya, ia harus dipecat dari pekerjaannya di Bandung itu, lalu
membawanya mengikuti jejak teman-temannya yang lain sampai ke tanah para raja
ini: Yogyakarta.
“Sakit ini, Mas,” katanya “Sangat mengganggu
saya, soalnya sedikit-sedikit kebelet kencing,
sedikit-sedikit kebelet kencing, bahkan
kadang-kadang semenit bisa tiga sampai empat kali”.
Karena
sakitnya inilah Pak Dadang tersingkir dari pekerjaannya di Bandung itu. Dan
sekarang, di sinilah ia, bekerja sebagai pemulung sampah di sekitaran Jalan
Kaliurang, Yogyakarta.
Selain
bercerita mengenai sakit yang diderita serta jatuh bangun pekerjaan yang pernah
dijalaninya. Ia juga bercerita bahwa semenjak ia merasakan sakit tersebut, belum
pernah sekalipun mencoba memeriksakan penyakitnya itu ke dokter atau pun tenaga
medis lain yang ada. “Belum Mas, takut kalau biayanya mahal. Mau bayar pakai
apa nanti saya kalau mahal biayanya.” katanya.
Persoalan
takut berobat karena mahalnya biaya ini memang bukan hanya persoalan Pak Dadang
seorang, orang-orang lain seprofesinya di jalanan pun banyak yang mengalami
ketakutan yang sama. Misalnya saja Pak Agus, teman seperjuangannya dalam
mengumpulkan barang-barang bekas.
Ia
bercerita juga tidak berani untuk memeriksakan sakit perut yang sudah dideritanya
selama kurang lebih sudah dua tahun belakangan ini kepada dokter ataupun tenaga
medis lain. Alasan yang diungkapkan Pak Agus tak jauh beda dengan Pak Dadang,
yakni mengenai persoalan takut dengan mahalnya biaya.
“Jadi
kalau lagi kambuh gimana itu Pak sakitnya?” tanya saya. “Ya ditahan saja, Mas.
Kalau tidak, ya beli obat Promag itu di toko, sudah itu saja,” jawab Pak
Agus.
Persoalan
mengenai ketakutan dalam mengakses tenaga kesehatan ini harusnya mendapat
perhatian lebih dan khusus, tak hanya oleh pemerintah, melainkan juga lembaga
lain yang terkait dan bergerak menangani persoalan ini.
Bukankah,
dana kesehatan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani masalah ini sudah
cukup banyak? Lalu kemana mereka perginya? Kalau bukan untuk orang-orang seperti
Pak Dadang dan Pak Agus tadi? Mengapa yang terjadi, mereka justru ketakutan untuk
sekedar mengecek sakit apa yang dideritanya? Dan justru lebih memilih memendam
dalam-dalam sakit yang dideritanya itu?
Dan
kemana perginya kartu-kartu “sakti” yang dikeluarkan pemerintah itu? Apa hanya karena
mereka tak memiliki Kartu Keluarga, KTP, atau rumah, mereka jadi serta merta tak
berhak mendapatkan layanan kesehatan itu? Tak pantaskah mereka mendapatkan haknya
jadi warga negara di negeri kita tercinta ini?
Mengenai
persoalan ini, “keseriusan” mungkin adalah satu kata penting yang patut
dipertanyakan mengenai kehadiran pemerintah dan lembaga terkait dalam menangani
kasus-kasus seperti ini. Bagaimana mungkin, suatu program yang uangnya tak
sedikit keluar dari uang rakyat itu, justru tak pernah sampai ke pada orang-orang
yang paling membutuhkannya; raktyat seperti Pak Dadang dan Pak Agus tadi.
“Jadi, Bapak, bagaimana kesehariannya kalau
harus nyari barang bekas dan membawa gerobak dengan sakit yang Bapak derita ini?”
tanya saya lebih jauh.
“Kan
kalau jadi pemulung gini, bebas ya, Mas, ya. Nggak ada yang ngatur-ngatur. Jadi
kalau kebelet kencing, ya tinggal
kencing di samping gerobak atau tinggal dimasukin ke botol.” jawabnya singkat.
Sumber foto: Liputan6.com
Selanjutnya, ia juga menambahkan bahwa, setiap
harinya ia akan mencari barang-barang bekas buruannya itu mulai dari sekitar Jalan Kaliurang km nol sampai Jalan
kaliurang km sepuluh sana. Berhenti dari satu rumah ke rumah yang lain, dari
satu toko ke toko yang lain, dan dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan
satu tujuan pasti: mendapatkan barang bekas sebanyak-banyaknya untuk bekal
makan hari ini dan esok pagi.
Sore
harinya setelah hampir seharian berkeliling mencari barang bekas, biasanya ia
akan langsung menjualnya ke para pengepul yang ada di daerah Jalan Monjali atau
dekat Hartono Mall sana.
“Terus,
Pak. Bapak biasanya sehari dapat penghasilan berapa? Dari hasil menjual barang-barang
bekas ini?” tanya saya lagi.
Ia
menjawab bahwa penghasilan sehari-harinya tak menentu. Tergantung pada harga
pasaran barang bekas yang ada, serta banyaknya barang bekas yang berhasil
diperolehnya. Harga satuan dari setiap barang-barang bekas yang didapatkannya
itu sendiri bervariasi, ada yang Rp.3000 per/kilo untuk segala macam yang
berbentuk besi-besian, Rp. 2000-an untuk yang berbentuk alumunium dan atum, serta Rp. 2500-an untuk sampah
kertas dan plastik, seperti botol-botol aqua, ataupun kertas bekas sak semen.
Tak lupa, ia juga bercerita, bahwa sebenarnya
telah beberapa kali mendapat bantuan dari pemerintah ataupun dinas terkait yang
mengurusi masalah tentang kesejahteraan orang-orang seperti dirinya. Akan tetapi,
bantuan yang diperolehnya itu dirasainya bukan sebagai bantuan yang tulus dan
ikhlas berasal dari dalam hati.
Sering kali bersama bantuan-bantuan
tersebut, ia harus “mengemis” terlebih dahulu, menghamba kepada si pemberi
bantuan dengan jalan harus menjalani semacam “karantina” khusus selama beberapa
bulan—bersama orang-orang yang tak disukainya—para preman yang telah memeras
dan menyiksanya di Jalanan.
“Selain itu, Mas. Orang-orang dari dinas
sosial itu pinter, duit bantuan yang seharusnya buat kami itu juga dimakan,
dipotong-potongnya sedimikian rupa, sehingga buat makan kami saja press hampir-hampir tak cukup, jadi
kalau ada apa-apa harus berhubungan dengan mereka kami itu males.” Imbuhnya
lagi.
Setelah
mendengar keluh-kesah dari Pak Dadang yang satu ini, masalah lain muncul; juga
tak kalah serius dengan masalah yang muncul pertama tadi, yakni terletak pada
perencanaan program yang dijalankan pemerintah atau dinas sosial terkait
tersebut.
Bagaimana
tidak, mereka “orang-orang atas” itu biasanya lupa, bahwa dinamika yang terjadi
di lapangan sangatlah kompleks, dan tidak bisa digenerallisir secara dangkal
begitu saja. Salah satu contohnya adalah apa yang diceritakan Pak Dadang tadi,
pencampur-adukan selama karantina; antara para tuna wisma dengan para preman jalanan, adalah sebuah kesalahan fatal yang tak
boleh terulang dilakukan. Bukannya membantu mereka, “orang-orang atas” itu
terkadang justru memasukan si pesakitan ini ke dalam jurang pesakitan yang lebih
dalam lagi.
Setelahnya,
untuk selingan wawancara yang sudah sejak tadi mulai beranjak serius dan
“memanas”. Saya mencoba bertanya-tanya tentang hal lain, misalnya saja tentang
tulisan-tulisan tangan yang tertulis di kiri dan kanan badan gerobaknya ini.
“Pak,
ini di gerobaknya yang nulis tulisan-tulisan ini siapa ya, Pak?”
“Oh,
tulisan-tulisan ini, saya sendiri, Mas,”
“Terus,
maksud bunyi tulisan yang ini apa, Pak? “Kulit
dan tulangku sekarang sudah jauh lebih keras dari pada benda keras yang ada di
manapun juga.”
“Ya
itu cuma semacam curhatan hati saya aja, Mas. Curhatan pada mereka itu; para
preman sama kelompok-kelompok pengamen yang sering mengganggu saya itu, yang
suka memukul, memeras dan sering meminta uang pada saya itu,”
Ditambahkan
juga olehnya, setiap kali para preman itu datang dan saat itu Pak Dadang sedang
tidak memiliki uang seperser pun. Mereka biasanya akan terus memukuli dan menendanginya
sesuka hati mereka.
“Begitulah,
Mas. Kehidupan di jalanan ini, banyak sekali ujian dan orang-orang jahatnya.” Tambahnya
lagi.
Akhirnya,
sampailah saya pada puncak sekaligus akhir dari wawancara saya dengannya sore ini.
Sebelum berpamitan pulang, saya meminta nasihat kepadanya. Sebagai orang yang ‘katanya’
muda dan terpelajar ini.
“Pak,
tolong nasihati saya, Pak..,” Kata saya memohon sebelum berpamitan.
“Nasihat
apa ya, Mas? Masnya agamanya apa kalau boleh tahu?” jawabnya agak kebingungan.
“Islam,
Pak.” Jawab saya singkat.
“Alhamdulilah
kalau gitu, ya kita ya, Mas, ya, kita sebagai orang Islam sekarang musti
hati-hati. Apalagi dengan mulut kita ini. Jangan suka nuduh-nuduh kafir ke
orang lain ya, Mas, sudah gitu banyak berita yang nggak bener yang disebar kemana-mana sekarang ini. Ya, Masnya,
harus hati-hati pokoknya, sudah itu saja nasihat dari saya.”
Mendengar
perkataan sekaligus nasihatnya yang terakhir tadi, hati saya mendadak seperti tersambar
petir. Maaf, orang dengan pekerjaan dan tingkat pendidikan seperti beliau saja
masih tahu bahwa “mengkafirkan” orang itu bukan perbuatan yang baik; bahwa
menyebar fitnah atau berita bohong itu adalah suatu dosa dan kebiadaban besar.
Tapi kenapa, kenapa masih saja banyak orang-orang di luar sana, yang katanya
lebih bermoral dan berpendidikan justru tak mampu memahaminya, tak mampu
melakukannya. Entahlah.