Jumat, 19 Juni 2020

Menengok Nusa Utara: Lintasan Niaga yang Kini Jadi Daerah Periferi Republik


Sejarawan Perancis, Dennys Lombard pernah mengatakan, di Nusantara, setidaknya sampai paruh terakhir abad ke-15 terdapat enam satuan kawasan perniagaan-laut. Keenam kawasan-laut tersebut terbagi sebagai berikut: (1) Selat Malaka, (2) Selat Sunda, (3) Laut Jawa, (4) Bali dan pulau-pulau sekitarnya, (5) Laut Sulawesi, serta yang terakhir (6) Laut Maluku. Keenamnya, bisa terbentuk hingga sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh dua sebab utama. Pertama, daerah tersebut merupakan tempat di mana jalur perniagaan menuju Pulau Rempah berada. Kedua, sebagai tempat di mana persaingan dagang dan perebutan hegemoni kekuasaan sedang berlangsung (Lombard, 1987: 3-12). 

 Ia juga menambahkan, kala itu aktor dari luar yang turut bermain dalam urusan perdagangan rempah ini pun masih terbatas dari kalangan orang-orang Timur Asing, entah itu dari golongan pedagang Arab, India ataupun Cina. 

Dalam bukunya, Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, Alex John Ulaen menjelaskan, sebagai daerah yang masuk pada kawasan perniagaan Laut Sulawesi, peran Nusa Utara (Wilayah Kepulauan Sangihe dan Talaud sekarang) adalah sebagai tempat transit penting dari dua jalur perniagaan utama menuju Pulau Rempah. Yakni, bagi para pedagang yang datang berlayar dari arah barat, Malaka sana, yang biasanya akan berlayar menuju Pulau Rempah dengan menyusuri laut di bagian utara Pulau Borneo, lalu berbelok ke arah timur menuju Laut Sulu, transit di Kepulauan Nusa Utara ini, baru setelahnya pergi ke Pulau Rempah (Wilayah Maluku Utara sekarang). Sedangkan dalam jalur pelayaran lain, adalah yang biasa dilalui oleh para pedangan dari daratan Cina yang berlayar melalui wilayah barat Kepulauan Filipina, menuju ke Laut Sulu, transit sebentar di Kepulauan Nusa Utara, baru setelahnya pergi  manuju ke Pulau Rempah (hlm. 37).

Dua jalur pelayaran inilah yang nantinya akan diikuti oleh Bangsa-Bangsa Barat ketika mereka hendak menuju ke Pulau Rempah pada awal-awal kedatangannya di Nusantara.

Catatan-catatan dari Barat

            Catatan Barat pertama mengenai keberadaan gugusan kepulauan kecil di utara Sulawesi ini,  datang dari seorang penjelajah Spanyol bernama Ferdinand Magellans dalam perjalanan terkenalnya mengelilingi bumi. Sebagaimana yang dikutip oleh Ulaen dari catatan Pribadi Antonio Pigafetta (salah satu juru tulis dalam rombongan Magellan tersebut) yang tertanggal, 28 Oktober 1521 menyebutkan sebagai berikut:

“Tanggal 28 Oktober 1521, berlayar ke selatan-tenggara, kami melewati delapan buah pulau, sebagian dihuni dan sebagian tidak berpenduduk. Mereka menamaninya Cheava (Marore?), Cavio (kawio), Cabiao (Kamboleng), Camanuca (Mamanuk/matutuang), Cabaluzao (Cawaluso), Cheai (Dumarehe). Lipan (Lipaeng) dan Nusa (Nusa). Pulau Sanghir (Sangihe-Besar) merupakan pulau terbesar di gugusan Kepulauan Sangihe. Di sana terdapat empat raja, yakni raja matandatu, raja Laga, raja Bapti, dan raja Parabu.”

Sementara itu, Robertus Padbrugge, seorang pegawai VOC yang berkunjung ke daerah ini pada 1677 juga menambahkan hal lain mengenai keberadaan gugusan kepulauan ini. Selain membicarakan tentang letak geografisnya yang strategis sebagai tempat transit,  gugusan kepulauan ini ternyata juga menyimpan potensi lain yang tak kalah menjanjikan, yakni menghasilkan beberapa komoditi penting yang sangat dicari kala itu seperti minyak kelapa (coconut oil) dan kopra (Ulaen, 2016: 43-44). Alasan-alasan yang terakhir inilah yang lebih lanjut, menjadi magnet lain bagi Bangsa-Bangsa Barat untuk datang menancapkan kekuasaannya di sana.
 Penggambaran yang hampir serupa juga diperlihatkan oleh Pendeta Brillman, yang dalam bukunya, Onze zendingvelden: De zending op de Sangi – en Talaud – eilanden door(1938), menyebutkan, “Jika kita memandang ke arah daratannya, di sana-sini timbul bukit-bukit yang menjulang ke awan, lereng-lereng bersahutan ribuan, sekali lagi ribuan pohon kelapa dan kopra, di mana-mana di seluruh Hindia ini tak ada bandingannya.” (hlm. 2).

Barat Mulai Menancapkan Hegemoninya

Letak geografis yang strategis serta potensi komoditi ekspor yang menjanjikan, membuat tiga kekuatan Barat utama (Belanda, Portugis, dan Spanyol) bersaing mati-matian untuk menancapkan pengaruh di gugusan kepulauan ini (dari mulai pertengahan abad ke-16 sampai akhir abad ke-18).

Seperti biasa, upaya pertama yang mereka lakukan untuk mencapai tujuannya ini adalah dengan cara membangun hubungan baik dengan para penguasa lokal yang ada. Awalnya, dengan pendekatan agama melalui misi “pemberadaban” yang dibawanya. Lalu setelahnya akan diikuti dengan “bumbu-bumbu pemanis” berupa janji akan membantu kekuatan militer dari penguasa lokal tersebut untuk menghadapi kekuatan lokal lain yang dianggapnya menjadi pengganggu/pesaing. Atau dalam beberapa kasus lain, juga ada dari para penguasa lokal tersebut yang justru mengundang kekuatan Barat ini untuk datang ke daerahnya (Invited Colonialisme), dengan tujuan pasti: mencari perlindungan dari serangan kekuatan lokal lain yang dianggap sebagai musuh/pengancam.


Sumber gambar: digital collection Leiden University.nl

Contoh paling pas untuk penggambaran kasus ini adalah, yang Portugis lakukan pada 1563, yang mana pada tahun tersebut mereka mengirimkan seorang Pastor Jesuitnya yang bernama Diego de Magelhaes. Namun ternyata dalam misi “pemberadaban” yang dibawanya ini. Sang pastor ternyata tidak “dilepas” sendiri, melainkan juga datang menyertainya seorang Kapten Portugis yang bernama Goncolo Pereyra Marramaque dengan lebih dari seratus anak buah di belakangnya menuju ke wilayah ini. Tujuannya sudah barang tentu selain untuk membawa misi “pemberadaban”, ternyata mereka juga diminta oleh penguasa lokal yang ada di sana, yakni Raja Siau untuk mengusir pengaruh dari Kerajaan Ternate di wilayah kepulauan tersebut (Ulaen, 2016: 65-66).

Menjadi daerah periferi

Hal penting yang menjadi alasan pokok terjadinya transformasi di daerah ini; dari daerah yang sebelumnya menjadi lintasan perniagaan utama ke daerah periferi adalah, dengan mulai mapannya dua “entitas politik” kolonial di sekitar daerah ini. Hindia-Belanda yang mulai mantap mengontrol wilayah Nusantara, dan kekuasaan Spanyol di wilayah kupulauan Filipina. Menguatnya dua entitas politik kolonial ini, mau tak mau juga membuka babak baru dalam sistem perniagaan yang ada di wilayah laut Sulewesi dan laut Maluku. Di mana dalam hal ini, justru wilayah gugusan kepulauan menjadi daerah tapal batas bagi dua entitas politik kolonial tersebut (Ulaen, 2016: 175-176). 

Kondisi ini semakin diperparah dengan semakin berbiaknya pratik-praktik penjarahan bajak laut di daerah Sulu (Sulu Zone), wilayah bagian barat dari kepulauan ini. James Francis Waren dalam bukunya The Sulu Zone (1768-1898): The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ettnicity in The Transformation of a Southeast Asian Maritime State (1981), mencatat. Pada kurun pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke-19, wilayah laut Sulu menjadi wilayah yang paling berbahaya untuk dilintasi kapal-kapal pedagang yang hendak menuju Pulau Rempah. Selain merampas barang dagangan, para bajak laut ini, biasanya juga menyasar para awak kapalnya untuk dijual menjadi budak-belian di pasar budak yang ada pada waktu itu (hlm. 149-152).

Oleh karena itu, untuk menghindari para bajak laut itu, banyak dari pedagang yang mengalihkan jalur pelayarannya ke sisi selatan, melalui laut Jawa lalu ke laut Sulawesi bagian selatan, baru setelahnya berbelok ke arah utara menuju ke Pulau Rempah.

Dengan keterasingan geo-politik seperti itu. Mau tak mau berdampak pada merosotnya pendapatan di bidang ekonomi bagi penduduk di wilayah ini. Utamanya, yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan pokok, yakni, masalah Sandang dan pangan. Jika sebelumnya terjadi pertukaran yang masif berbagai macam komoditi seperti,  minyak kelapa dengan beras yang datang dari Jawa, atau pun kopra dengan tekstil dari Cina, kini hal itu tak terjadi lagi.

Kini penduduk dan wilayah kepulauan ini benar-benar menjadi terasing dan dilupakan. Bahkan kondisi ini tak berubah setelah negara kita, Indonesia merdeka pada 1945. Dan bukankah, diakui atau tidak, wilayah geo-politik negeri kita ini adalah warisan atau blue-print dari wilayah Hindia-Belanda dulu. Di mana menempatkan wilayah gugusan kepulauan ini menjadi batas paling utaranya yang berbatasan langsung dengan laut Filipina.


Referensi:
Alex John Ulaen. 2016. Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan.             Yogayakarta: Ombak.

D. Brillman. 2000. Kabar Baik di Bibir Pasifik. Jakarta: Sinar Harapan. Diterjemahkan dari         Bahasa Belanda, “Onze zendingsvelden: De zending op de Sangi-en Talaud- eilanden door”.

James Francis Waren. 1981. The Sulu Zone (1768-1898): The Dynamics of External Trade,          Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Ken Ridge, Singapore: Singapore University Press.

Dennys Lombard. 1987. Regions And Regional Developments in The Malay-Indonesian World.   Otto Harrassowitz-Wiesbaden.