Puncak Merbabu, 24 Mei 2017.
Pagi
masih sunyi. Ayam-ayam hutan masih enggan untuk berkokok. Gerombolan lutung pun
masih pulas mengorok dalam pelukan rindang ranting pepohonan. Sedang sang surya
masih terbenam—jauh dalam tidur panjangnya. Aku mulai menguasai diri kembali,
menapakkan kaki setapak demi setapak, sehasta demi sehasta, sejengkal demi
sejengkal--menyusuri jalan licin berdebu menuju Puncak Klenteng Songo Merbabu.
Angin
gunung berhembus kencang dari puncak
sana menuju ke lembah keabadiannya. Kurasai tubuh ini semakin dingin;
menggigil. Aliran nafas mulai tersenggal-sengal, harap maklum tuan-tuan, oksigen
dini hari memang begitu tipisnya, apalagi di puncak gunung seperti ini. Tanpa
terasa keringat berdesir deras masuk-merasuk ke ujung-ujung ulu hati. Dingin, capek
dan kegelapan. tiga kata yang membuat otak warasku berkata pada diri “Sudah cukup! Tubuhmu
tak sanggup lagi.” Katanya. Tapi itu selamanya hanyalah kata si otak waras
bukan si hati sanubari. Si hati sanubari lalu berkata “Tidak, selamanya tidak, aku sudah muak
kalah! sudah muak jadi pecundang! Tak akan pernah! Tak akan pernah lagi
selamanya!”.
Sementara
itu, puncak buritan masih terlalu jauh untuk dilihat, baru terlihat seonggok
kecil dalam remangnya. “Kira-kira masih barang satu-dua jam lagi baru sampai ke
puncak” Kata seorang teman di sampingku. Dan jauh di belakang-bawah sana
keempat temanku lain masih tersenggal-senggal nafasnya, terseok-seok jalannya,
dan pada kaku urat-urat persendiannya. Banyak dari mereka yang berhenti—tak mau
melanjutkan perjalanan pendakiannya.
Melihat
itu hatiku semakin terpecut “Aku tak
akan pernah menyerah, selamanya tak akan pernah!” kataku dalam hati. “Karena
bagiku mendaki bukan hanya soal kekuatan fisik-badani semata, mendaki adalah
latihan olah jiwa. Setiap pendaki adalah petarung, paling tidak terhadap
dirinya sendiri, terhadap egonya sendiri, karena yang aku, kami dan kita lawan
dan taklukan selama pendakian bukanlah siapa-siapa, pun juga bukan apa-apa,
yang kita lawan adalah diri kita sendiri, ketakutan dalam hati kita sendiri. Anak-ruh
dari ego kita sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar