Senin, 05 Maret 2018

Kesan dan ulasan mengenai buku “In the Name of Identity” Karya Amin Maalouf

            Amin Maalouf dalam bukunya “In the name of Identity”, berusaha mengajukan semacam “perenungan bersama”. Bagaimana suatu ‘identitas’ bisa terbentuk dalam masyarakat. Tak hanya berhenti pada persoalan deskriftif naratif belaka, ia juga menyelami persoalan mengenai identitas ini jauh  ke dasar akarnya. Layaknya seorang Antropolog, ia melihat sekaligus mempertimbangkan banyak aspek dari berbagai hal sebelum masuk pada sebuah kesimpulan, yang selanjutnya mencari sebab-musabab apa yang mempengaruhi setiap fenomena identitas ini.
Argumen demi argumen yang diajukannya ini, memunculkan berbagai pertanyaan di benak kita, seperti: Bagaimana suatu identitas bisa terbentuk? Gagasan apa yang mendasarinya? Landscap serta ruang seperti apa yang menjadi tempat berkembangnya? Serta struktur masyarakat seperti apa yang “mengamini” identitas ini bisa terbentuk di masyarakat?

Sumber foto: www.Amazon.com

            Hal lain yang semakin membuat buku ini menarik, paling tidak bagi saya pribadi. Ialah saat ia memaparkan segala macam gejala Antropologi yang telah disebutkan di atas tadi, dalam konteks historisnya. Tak hanya berhenti di sana, ia juga menjelaskan bahwa suatu fenomena yang ada, utamanya tentang “identitas” ini juga merupakan produk sejarah, yang sudah berproses bertahun-tahun lamanya. Yang tidak serta merta bimsalabim langsung saklek jadi seperti itu. identitas; ia adalah produk sejarah, produk waktu, di mana di dalamnya terdapat proses yang panjang dan berbelit-belit juga berkesinambungan dari waktu ke waktu. Yang tentu saja tidak bisa disimpulkan dalam generalisasi dangkal atas dasar ‘benar’ dan ‘salah’ semata.

            Terakhir, fokus pembahasan dalam bukunya ini tidak terfokus pada tataran kesimpulan, ia terfokus pada tataran “proses”. Yang mana suatu fenomena sosial yang ada akan  terus berubah dari waktu ke waktu. Ia tidak menyuguhkan kesimpulan mengenai masalah ‘identitas’ ini, tetapi menghantarkan semacam bahan “perenungan” bersama bagi para pembacanya. Yang tentu saja kita sebagai pembaca, bisa dan boleh dengan bebas mengintrepretasikan segala argumen yang ia sajikan menurut pandangan kita sebagai pembaca, menurut tataran pengalaman dan falsafah hidup kita masing-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar