Selasa, 31 Oktober 2017

Wajah Pram dalam "Nyanyi Sunyi seorang bisu"

Jum’at, 16 Juni 2017


Hari ini, pagi masih menderu, langit gelap kehitam-hitaman, sedang matahari masih enggan menampakan dirinya, bersembunyi di balik renda-renda awan kelabu. Jangan tanya tentang pelangi! Tak mungkin tampak ia, pergi jauh ia! Disaat itulah aku masih berkutat dengan buku memoar buah karya pengarang besar Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Berbeda dengan buku Pram lain, buku ini bercerita tentang cuplikan kisah nyatanya selama pembuangan di Pulau Buru. Yang di dalamnya berisi nukilan-nukilan surat untuk anak-anaknya yang tak pernah sampai, serta cerita kehidupan pribadi dan sahabat-sahabatnya selama masa pembuangan tersebut.


pram

sumber: https://www.goodreads.com


Membaca buku ini, aku seperti merasakan sendiri betapa sulitnya untuk menjadi manusia Indonesia “yang baik dan benar”. Betapa banyak putra-putri terbaiknya yang ingin mengabdi dengan setulus hati untuk kemajuan bangsa yang dicintainya justru dicampakkan, terhalang oleh begitu buasnya nafsu kekuasaan. Betapa banyak kulihat, dan kau lihat sendiri, putra-putri terbaik itu dituduh, dideskriditkan, dan dikerdilkan jiwa serta mentalnya oleh masyarakat bangsanya sendiri, oleh penguasa negeri yang dicintainya sendiri. Padahal jika mau dilihat secara insyaf dan jujur di luar sana (Baca: Luar negeri) begitu banyak orang yang mengagumi bahkan mencintai buah karya otak dan fikiran-fikiran orang-orang tersebut. 


Ah… Mungkin saja memang sudah jadi mentalitas dari bangsaku! Yang justru memuja-muja dan mendewakan orang yang cuma bisa banyak omong di atas sana, yang suka berdebat berkoar-koar, suka mencari-cari alpa dan salah orang lain, dari pada menghargai setiap mereka yang berkarya di bawah tanah, yang biasanya  karya tersebut justru sangat bermanfaat dan berguna bagi kepentingan kemajuan bangsa dan negara kita tercinta ini.


Jujur saja hatiku remuk, pilu, sedih, dan menangis. Setiap membaca untaian kata, kalimat, paragraf, serta lembar buah fikiran dan gagasan yang dicurahkan dalam buku ini. Setiap tuturan katanya seperti membawaku masuk-merasuk dan menyelami sendiri apa yang di rasakan oleh penulis dan para sahabat selama pembuangan di Pulau kebinasaan itu. Dan kau dan kalian harus dan juga wajib membaca buku ini, jika ingin tahu  dan merasakan sendiri wajah nyata dari kebiadaban sekaligus kebajikan dari manusia Indonesia, saudara-sebangsamu sendiri itu. 


Pada akhirnya seperti untaian dalam pengantar buku ini untuk menggambarkan sosok Pram yang berani dan percaya akan kebenaran yang diyakininya “Verba Amini Proffere Et Vitam Impendero Vero” (Dia yang mengucapakan kebenaran secara bebas, dan ia pertaruhkan nyawanya demi kebenaran).


Sekian. Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar